Soal Yogyakarta, Aktivis Perempuan: Sultan Berlaku Adil
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pada dua pekan ini perkembangan berita mengenai keputusan Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Bawono X yang mengubah gelar salah seorang putri sulungnya menuai pro dan kontra.
Perubahan gelar tersebut dinilai oleh beberapa pihak seperti masyarakat dan pihak keraton untuk mengangkat putri sulungnya menjadi penerus takhta. Jika benar, pengangkatan putri mahkota tersebut dinilai menyalahi pakem atau adat istiadat keraton Yogyakarta yang telah mengakar selama ini karena di masa mendatang, masyarakat Yogyakarta akan dipimpin oleh seorang perempuan.
Namun, aktivis Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) Misiyah memiliki pendapat lain. Dia menilai bahwa keputusan Raja Keraton Yogyakarta tersebut patut diapresiasi karena Sultan berusaha untuk melakukan perubahan.
“Inilah contoh nyata Sultan melakukan perubahan untuk berlaku adil terhadap anak perempuan. Patut menjadi teladan keberaniannya melakukan perubahan dengan menghadapi tantangan yang sangat besar,” kata dia kepada satuharapan.com, Minggu (10/5).
Misiyah juga mengungkapkan bahwa keadilan gender perlu dimengerti bagi masyarakat luas khususnya Yogyakarta agar suatu saat siap menghadapi situasi seperti ini.
“Di sinilah dibutuhkan upaya pendidikan kritis untuk masyarakat yang menjangkau sampai tingkat akar rumput. Jadi bisa masuk dari contoh yang telah diberikan Sultan kemudian dipersiapkan juga masyarakatnya. Pemerintah daerah penting menindaklanjuti keteladanan Sultan ini dengan melakukan pendidikan masyarakat, yaitu pendidikan kesetaraan gender.”
Pada akhir April lalu Sultan Hamengku Bawono X mengeluarkan sabda raja yang berisi: mengubah nama menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama.
Sebelumnya nama Sultan ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Salem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdulrrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa In Ngayogyakarto Hadiningrat.
Kemudian isi sabda raja yang kedua adalah mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan dan yang ketiga adalah penyempurnaan keris Kiai Ageng Kopek dan Kiai Ageng Piturun.
Pada Selasa (5/5), Sultan mengguncang Yogyakarta dengan dhawuh raja. Melalui titah tersebut, putri sulung Sri Sultan diubah namanya dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.
Penilaian bahwa GKR Mangkubumi dipersiapkan untuk menjadi ‘putri mahkota’ tidak ditanggapi secara tegas oleh Sri Sultan. Dalam penjelasan di rumah GKR Mangkubumi, pada Jumat (08/05) lalu, dia mengatakan tidak tahu kelanjutan dari perubahan gelar putri sulungnya.
Dia mengaku hanya melaksanakan perintah dari Allah lewat leluhur untuk mengganti gelar putrinya.
“Pokoknya saya menetapkan gelar baru GKR Pembayun. Lakone mengko piye, aku yo ra ngerti (Kelanjutannya nati bagaimana, saya tidak tahu.). Kalau saya melangkah lebih dari itu, berarti itu kepentingan saya,” kata Sri Sultan seperti yang dilansir dari bbc.com pada Sabtu (9/5).
Sri Sultan memiliki empat putri, yakni GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, dan GKR Bendoro. Meski tidak dikarunai putra, dia mempunyai 11 adik laki-laki dari empat ibu.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...