Sogavare:PBB Omong Kosong bila Abaikan Aspirasi Rakyat Papua
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Isu terkait aspirasi rakyat Papua untuk merdeka kembali terangkat di Sidang Umum ke-72 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, lewat pidato tiga negara rumpun Melanesia di Pasifik, yaitu Solomon Islands, Vanuatu dan Tuvalu. Diangkatnya isu Papua sudah diduga sebelumnya, dan ini menjadi ajang perang diplomasi antara Indonesia dan kelompok-kelompok yang menginginkan penentuan nasib sendiri Papua, yang belakangan ini semakin gencar melancarkan kampanye di dunia internasional.
Dalam kaitan ini, Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, melontarkan kritik keras kepada Perserikatan Bangsa-bangsa yang dia anggap telah menutup telinga selama 50 tahun terhadap aspirasi menentukan nasib sendiri rakyat Papua.
Ia menilai PBB hanya omong kosong dengan semboya "No One Will Be Left Behind (Tidak Ada yang akan Dibiarkan Tertinggal di Belakang)" apabila tidak mengambil langkah-langkah aktif dalam menangani nasib rakyat Papua.
Seperti tahun lalu, pada Sidang Umum ke-72 PBB di New York kali ini, Sogavare kembali mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua dan bertekad untuk secara konsisten memperjuangkan hal ini.
"Dalam hubungan ini, Solomon Islands mengutuk pelanggaran hak HAM di Papua," kata dia, ketika berpidato di SU PBB pada hari Sabtu (23/09).
Ia mengutip Tujuan Pembangunan PBB dengan gagasan No One Will Be Left Behind. Ia menegaskan, semboyan ini "akan menjadi omong kosong bila kita, PBB, tidak mengambil langkah-langkah aktif untuk mengatasi nasib masyarakat Papua."
"Sesungguhnya, kita telah meninggalkan mereka di belakang sekitar 50 tahun yang lalu ketika kita, sebagai keluarga bangsa-bangsa, mencatat nasib mereka tanpa banyak berbuat. Sejak saat itu, masyarakat Papua tidak pernah diizinkan melakukan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dengan benar yang dijamin oleh hak yang tidak dapat dicabut untuk menentukan nasib sendiri seperti yang dinyatakan dalam Kovenan PBB," kata Sogavare, yang menyampaikan pidato dalam Bahasa Inggris.
Menurut Sogavare, tindakan internasional - oleh masing-masing negara mau pun oleh PBB, khususnya Majelis Umum PBB - dapat membuka jalan "bagi orang-orang yang haknya untuk menentukan nasib sendiri telah ditolak selama hampir 50 tahun yang
lalu. Gagal dalam hal ini, kita sebagai Keluarga bangsa-bangsa akan terlibat dalam mengabadikan penderitaan dan kebutaan terhadap ketidakadilan; kehilangan kesempatan emas lain untuk tetap setia pada semboyan No one left behind," kata Sogavare.
Ia mengingatkan bahwa pada SU PBB tahun lalu, sekelompok negara Pasifik juga telah menyerukan agar SU PBB mengangkat soal pelanggaran hak asasi manusia di Papua. "Hari ini, saya berdiri atas nama bangsa saya dan mereka yang berada di wilayah Pasifik untuk mengulangi seruan yang sama pada badan agung (PBB) ini untuk mengatasi penderitaan rakyat Papua. Rakyat kita
menyaksikan, orang Papua di Papua juga menyaksikan, berdoa dan berharap akan masa depan yang lebih cerah. Mereka datang untuk mengekspresikan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Kita para pemipin memiliki tanggung jawab untuk 'tidak membiarkan ada yang tertinggal.'"
Selanjutnya, ia menegaskan sikap Solomon Islands yang akan mendorong Indonesia melakukan dialog yang lebih konstruktif, termasuk dengan Papua, dan menemukan jalan ke depan dalam menyikapi aspirasi masyarakat Papua. "Saya mendesak PBB untuk secara proaktif terlibat dalam dialog ini juga," tutur dia.
Seruan Serupa untuk Taiwan
Kritik Sogavare terhadap PBB bukan hanya dikaitkan dengan isu Papua tetapi juga Taiwan. Menurut dia, slogan No One Will Be Left Behind, oleh PBB tidak diterapkan kepada Taiwan.
"Piagam PBB sangat kuat menegaskan keyakinan akan hak asasi manusia, martabat dan berharganya manusia, kesetaraan pria dan wanita dan negara besar dan kecil. Bahasa ini dengan jelas mengartikulasikan prinsip universalitas, untuk semua bangsa dan semua negara terlepas dari ukuran populasi mereka.
Namun, pada saat kita berkata, "tidak boleh ada yang tertinggal," pada saat yang sama kita menutup pintu akan partisipasi Taiwan dalam proses universal ini. Kita kemudian mengkontradiksikan prinsip kita dan membiarkan 23 juta penduduk tertinggal," kata dia.
"Padahal Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 membutuhkan kemitraan global dan upaya bersama oleh semua pemangku kepentingan untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada. Taiwan siap, mau dan mampu terlibat dan berkontribusi pada berbagai aspek substantif Program PBB untuk kesejahteraan umat manusia.
"Jika kita fokus pada manusia, mari memberi kesempatan kepada Taiwan dan 23 juta penduduknya."
"Taiwan telah terlibat aktif dalam program PBB dan badan-badan PBB yang khusus. Meskipun demikian kontribusi Taiwan terhadap kesejahteraan warga dunia, kita abaikan terus," kata Sogavare.
Pada saat yang sama, ia berterimakasih kepada PBB karena telah memberikan kesempatan kepada Kaledonia Baru yang akan mengadakan referendum tahun depan.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...