Loading...
DUNIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 00:00 WIB | Jumat, 21 Februari 2014

Somalia: Perempuan-perempuan yang Hidup dalam Ancaman Pemerkosaan

Ilustrasi.

NAIROBI, SATUHARAPAN.COM – Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa kabinet baru Somalia harus segera melakukan reformasi untuk menghadapi kekerasan seksual yang merajalela. Tahun 2013 lalu, perempuan dan anak perempuan mengalami perkosaan tingkat tinggi dan pelecehan seksual, termasuk oleh tentara pemerintah di ibu kota Somalia, Mogadishu.

“Banyak wanita dan anak gadis di Mogadishu hidup dalam ketakutan akan perkosaan,” kata Liesl Gerntholtz, direktur hak asasi perempuan di HRW. “Komitmen umum Pemerintah Somalia itu belum terwujud dengan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan menguatkan para korban.”

Tertulis dalam laporan setebal 72 halaman, “Di sini, Pemerkosaan itu Sudah Biasa: Lima Poin Rencana untuk Membatasi Kekerasan Seksual di Somalia,” memberikan panduan bagi pemerintah dan lembaga donor internasional untuk membuat strategi yang dapat diterima dengan baik untuk mengurangi pemerkosaan, menyediakan relawan yang sigap dan mengembangkan pendekatan jangka panjang untuk mengakhiri pelanggaran tersebut.

Laporan ini berfokus pada peningkatan pencegahan, meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan darurat, menjamin keadilan, reformasi hukum dan kebijakan dan mempromosikan kesetaraan perempuan.

Dalam laporan tersebut, HRW mewawancarai 27 perempuan di Mogadishu yang menyelamatkan diri dari pemerkosaan. Beberapa dari mereka mengalami pemerkosaan oleh beberapa pelaku pada lebih dari satu kali kesempatan. Semua kasus tersebut terjadi sejak Agustus 2012 ketika Pemerintah Federal Somalia baru menjabat.

Insiden tersebut terjadi di wilayah Benadir, termasuk Mogadishu, daerah utama yang berada di bawah kendali pemerintah dan di mana sumber daya di daerah tersebut telah diinvestasikan untuk meningkatkan keamanan dan membangun kembali lembaga-lembaga pemerintah, termasuk lembaga peradilan dan pelayanan kesehatan.

HRW menyatakan bahwa pasukan bersenjata, termasuk anggota pasukan keamanan negara telah menyerang secara seksual, memperkosa, menembak dan menikam banyak wanita dan anak gadis. Mereka menjadi terlantar akibat perang dan kelaparan melanda daerah mereka hingga ke seluruh negeri yang sangat rentan terhadap bahaya pelecehan di dalam kamp-kamp pengungsi, saat mereka berjalan menuju pasar, ladang atau mencari kayu bakar.

Kurangnya keadilan terhadap kejahatan seksual tergambar dalam kisah Shamso (nama-nama samaran untuk alasan keamanan). Shamso (34), adalah korban pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok anggota geng di rumah pengungsian, menjelaskan kepada HRW bahwa tidak adanya kejelasan hukum membuat pemerkosa tidak takut hukum.

“Mereka bergantian. Mereka tidak terburu-buru karena yang tinggal di kamp tersebut sebagian besar adalah perempuan dan itu bukanlah ancaman bagi mereka. Selama kejadian itu, salah satu dari mereka mengatakan kepada saya,’Anda bisa memberi tahu kepada siapa pun apa yang telah kami lakukan, kami tidak takut.’”

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melaporkan hampir 800 kasus kekerasan seksual dan berbasis jender terjadi di Mogadishu selama enam bulan pertama di tahun 2013, bahkan mungkin lebih. Banyak korban tidak akan melaporkan perkosaan dan pelecehan seksual karena mereka kurang percaya diri dengan sistem peradilan. Mereka juga tidak sadar akan pelayanan kesehatan dan keadilan, bahkan mereka tidak mengerti bagaimana mengaksesnya. Selain itu mereka juga takut akan pembalasan dari pemerkosa dan pandangan dari orang lain.

Ketika HRW bertanya kepada salah satu korban mengapa dia tidak melaporkan bahwa dia telah diperkosa, dia hanya mengangkat bahu. “Perkosaan sangat sering terjadi di Somalia. Di sini, pemerkosaan adalah hal yang biasa terjadi,” kata dia.

Menurut UNICEF, sekitar sepertiga dari korban kekerasan seksual di Somalia adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun.

Sementara itu, pemerintah telah berjanji untuk meneliti kasus pelecehan seksual sebagai prioritas. Dengan komitmen tersebut diharapkan akan terjadi perubahan. Pemerintah yang baru perlu mengambil langkah-langkah penting dan konkret untuk mengatasi masalah pemerkosaan, khususnya di lingkungan pengungsian.

Tanggapan Pemerintah

Pada awal Februari 2014, HRW bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah di Mogadishu, termasuk menteri perempuan yang baru, menteri pengembangan hak asasi manusia dan anggota unit kebijakan presiden, yang menegaskan kembali komitmen pemerintah untuk memerangi kekerasan seksual.

Secara khusus, para pejabat mengatakan mereka akan merevisi rancangan kebijakan jender nasional pemerintah untuk memasukkan ketentuan-ketentuan khusus dalam menangani kekerasan seksual dan jender.

HRW menyerukan kepada Pemerintah Federal Somalia untuk mengambil langkah-langkah serius mencegah personil pasukan keamanan dan orang lain untuk melakukan kekerasan seksual dan menahan pelaku. Sebagai prioritas yang paling utama, pemerintah harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan korban yang melaporkan pelecehan seksual terhadap dirinya tidak mengalami pembalasan oleh pasukan keamanan pemerintah dan intelijen, seperti yang terjadi dalam tiga kasus yang parah pada 2013 lalu.

“Pemerintah Somalia menghadapi tantangan yang menakutkan mengingat ruang lingkup terhadap pelecehan dan harus memiliki langkah-langkah yang lebih luas untuk menangani masalah itu,” kata Gerntholtz. “Jadi bukan hanya berfokus kepada korban, tapi pemerintah juga harus bertindak tegas untuk mengadili pelaku, termasuk anggota pasukan keamanan.”

Tahun-tahun penuh konflik membuat pelayanan medis, sistem peradilan, termasuk polisi dan pengadilan sangat tidak siap untuk mendukung dan membantu korban kekerasan seksual di Somalia. Akibatnya, perempuan dan gadis-gadis muda menghadapi yang disebut oleh PBB sebagai “korban ganda” – pertama yaitu kekerasan seksual atau perkosaan itu sendiri dan kegagalan pemerintah untuk memberikan keadilan yang efektif atau dukungan medis dan sosial.

Maryam (37), seorang ibu tunggal yang diperkosa beramai-ramai di tempat pengungsian. Dia adalah satu-satunya korban yang selamat yang diwawancarai oleh HRW dan mencoba untuk mengajukan laporan ke polisi. Para petugas polisi mempermalukannya ketika dia datang dengan darah yang mengalir dari luka akibat perkosaan tersebut.

“Sebelum mereka melepasku pergi, mereka bilang aku harus membersihkan lantai di mana aku mengalami pendarahan,” kata dia. “Aku duduk, mereka memberiku sapu dan aku membersihkan lantai.” Dia tidak pernah kembali ke kantor polisi untuk menanyakan kasus tersebut atau melaporkan pemerkosaan yang kedua kalinya yang dilakukan oleh sekelompok geng tersebut pada tiga bulan kemudian.

Perempuan lain menggambarkan dampak ekonomi yang terjadi ketika mereka mengalami pemerkosaan dan bagaimana pemerintah bersama dengan komunitas donor dapat membantu. “Tantangan bagi perempuan di Somalia bukan hanya kekerasan,” kata Sahra yang ditikam dan diperkosa pada bulan Juli lalu ketika dia sedang mengambil kayu bakar. “Saat itu saya menjadi seorang tenaga kerja manual sebelum saya diperkosa. Sekarang, saya tidak memiliki banyak tenaga untuk bekerja lagi. Kami perlu lebih banyak program yang memberikan kami modal untuk memulai sebuah usaha alternatif.”

HRW Meminta Pemerintah Somalia untuk Mengambil Sejumlah Langkah Penting.

Langkah ini termasuk yang paling kompeten yaitu dengan menyebar sejumlah polisi terlatih, termasuk polisi wanita untuk memberikan keamanan bagi para pengungsi, memastikan bahwa layanan kesehatan dan sosial dapat memberikan dukungan psikologis, sosial, ekonomi dan medis yang memadai untuk perempuan dan anak perempuan pulih dari kekerasan dan mempromosikan kesetaraan jender melalui pendidikan, politik, sosial, ekonomi perempuan dan partisipasi politik perempuan.

HRW menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi pemerintah sangat besar dan akan membutuhkan bantuan dari masyarakat internasional.

Donor internasional telah menekan Pemerintah Federal Somalia, termasuk melalui Somalia Compact yang telah diresmikan pada September 2013 lalu, untuk memberikan prioritas kepada hak-hak perempuan. Lembaga donor memiliki pengaruh dan perlu memperjelas dengan mendukung langkah-langkah pendek dan jangka panjang untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan sangat penting di Somalia.

“Negara-negara donor harus menekan pemerintah Somalia untuk memastikan bahwa nasib korban pemerkosaan merupakan prioritas dari upaya reformasi,” kata Gerntholtz. “Dan kemudian lembaga donor perlu melangkah maju dan membantu membuat reformasi yang sudah terjadi.” (hrw.org)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home