Sosiolog: Indonesia Perlu Peminpin Yang Paham Keunggulan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina, M.Si, mengemukakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang paham kekuatan atau keunggulan bangsa. "Pemimpin seperti itulah yang dibutuhkan Indonesia pasca-kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," katanya di Jakarta, Kamis (2/1).
Memberikan ulasan mengenai pemimpin Indonesia pasca-SBY, menurut dia, dengan melihat kontestasi politik internasional dan gerak krisis ekonomi dunia yang semakin sulit diprediksi, Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang mempunyai kapasitas dan yang paling utama moralitas yang tinggi.
Dalam kaitan memahami kekuatan atau keunggulan bangsa, kata dia, Indonesia dikenal sebagai negara agraris sekaligus negara maritim.
Akan tetapi, katanya, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian memperlihatkan bahwa tahun 2013 dari bulan Juni-November kecenderungan ekspor minus.
"Artinya kita lebih banyak mengimpor, terutama produk pertanian dan perikanan," kata anggota peneliti Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia itu.
Dia mengemukakan data impor pertanian dari BPS 2013, khusus tanaman pangan seperti, kedelai, ubi kayu, kacang hijau, beras dan lain-lain naik 29,66 persen, sedangkan nilai ekspor hanya sebesar 13,04 persen.
Kemudian, pada sektor perkebunan seperti kopi, teh, tembakau dan kapas, nilai impor Indonesia naik sebesar 9,16 persen, sedangkan nilai ekspor sangat menurun pada level -7,69 persen.
Demikian juga di sektor peternakan seperti sapi juga mengalami kenaikan sebesar 60,30 persen, bidang pertanian 22,43 persen, sedangkan nilai ekspor juga mencapai pada level -6,98 persen.
Untuk jenis sayur-sayuran Indonesia mengalami lonjakan impor yang cukup signifikan untuk jenis kentang, data Kementan 2013 menunjukkan dari bulan Juli-Agustus mengalami kenaikan 13,41 persen dan buah-buahan seperti jeruk mengalami volume kenaikan impor sebesar 45,39 persen.
Selain masalah belum tercapainya kedaulatan pangan negara, kata dia, tantangan lain yakni, masih tingginya pengangguran.
Data BPS menunjukkan bahwa Tahun 2013 angka pengangguran mencapai 6,25 persen dan laju inflasi 8,3 persen.
"Kemudian tantangan yang paling utama adalah masih belum meratanya kesejahteraan rakyat di negara kita, `indeks gini` menunjukkan gap sosial ekonomi kita masih sangat tinggi 0,56," kata dia.
Gini atau koefisien Gini adalah salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan didistribusikan di antara populasi.
Indeks Gini memiliki kisaran 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan distribusi yang sangat merata yaitu setiap orang memiliki jumlah penghasilan atau kekayaan yang sama persis.
Nilai 1 menunjukkan distribusi yang timpang sempurna yaitu satu orang memiliki segalanya dan semua orang lain tidak memiliki apa-apa.
Di perdesaan
Nia Elvina menjelaskan bahwa penduduk miskin masih terkonsentrasi di perdesaan sebesar 63,93 persen.
"Saya kira dengan tantangan yang demikian, ke depan Indonesia membutuhkan pemimpin yang `concern` pada ide-ide yang progresif pada pengembangan kedaulatan pangan dan sangat peduli pada pengembangan masyarakat perdesaan petani dan nelayan," kata dia.
Karena, kata dia, hukum ekonomi yang mengatakan bahwa gerak krisis akan terasa kecil jika sektor pertanian dan industri seimbang.
"Dan jika pemimpin Indonesia pasca-SBY adalah sosok yang `concern` pada memajukan masyarakat petani dan nelayan, maka harapan negara kita untuk mencapai cita-cita sosial, keadilan dan kesejahteraan bersama bisa tercapai," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...