Special Reporteur Komisi HAM PBB Perlu Meninjau Pelanggaran HAM 1965/66
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM – Special Reporteur Komisi HAM PBB perlu dihadirkan agar mengetahui atau mendengar secara langsung tindak kejahatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tragedi 1965/66. Sanksi tegas juga perlu dijatuhkan atas para penjahat HAM. Demikian salah satu tuntutan yang disampaikan Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65, Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre) di Tangerang dalam siaran pers pada hari Selasa (23/7).
Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) satu tahun lalu yang diharapkan sebagai pintu masuk untuk penyelesaian tragedi 1965/66 ternyata tidak ditindak lanjuti Jaksa Agung. Jaksa Agung tidak melakukan penyidikan dan menggelar pengadilan HAM ad hoc. Juga melakukan terobosan dalam menuntaskan penyelesaian atas korban tragedi 1965 dengan mengembalikan hak-hak korban ‘65 untuk memperoleh keadilan, rehabilitasi, kompensasi dan kebenaran. Berbagai dalih dilontarkan untuk mengganjal rekomendasi tersebut.
Bahkan, Menkopolhukam Djoko Suyanto berupaya membela para pelaku kejahatan kemanusiaan dengan tidak merespon terbentuknya pengadilan HAM ad hoc. Tindakan lembaga Negara Kejaksaan agung maupun Kemenpolhukam tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya melanggengkan impunitas dan melecehkan upaya penegakan HAM serta bukti bahwa negara atau Pemerintah tidak serius dan tidak mampu dalam hal menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965/66.
Dalam tuntutannya YPKP 65 mendesak, pertama, Kejaksaan Agung harus segera menindak lanjuti hasil temuan Tim Investigasi Komnas HAM dan segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku/penjahat HAM agar ada kepastian hukum dan keadilan bagi korban.
Kedua, Presiden segera menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) untuk memberikan rehabilitasi, reparasi dan kompensasi kepada Korban 65 seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta Surat Rekomendasi Ketua Komnas HAM, Mahkamah Agung, dan Ketua DPR-RI.
Ketiga, negara atau Pemerintah menjamin tidak akan mengulangi lagi tindak kejahatan pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi pada kasus Tragedi Kemanusiaan 1965/66.
Keempat, Presiden atas nama negara segera melakukan permintan maaf kepada korban pelanggaran HAM sebagai pintu masuk untuk menuju pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh.
Kelima, Komnas HAM segera melakukan Investigasi dan Pencatatan atau Pemberkasan Berita Acara Korban ‘65 di seluruh Indonesia dan menerbitkan rekomendasi agar Korban pelanggaran HAM berat 1965/66 memperoleh pelayanan medis/psikososial LPSK (Lembaga perlindungan saksi dan Korban) serta rehabilitasi.
Keenam, apabila penyelesaian melalui mekanisme hukum dalam negeri mengalami jalan buntu, YPKP 65 tidak menutup kemungkinan atau sedang mempersiapkan untuk mengadukan dan melaporkan ke jalur Internasional: melaporkan ke Dewan HAM PBB, UNWGEID, Organisasi-Organisasi kemanusiaan Internasional, ICC, ICRC, Amnesty Internasional, dan lain-lain.
Ketujuh, perlu menghadirkan Special Reporteur Komisi HAM PBB agar mengetahui/mendengar secara langsung adanya tindak kejahatan pelanggaran HAM tragedi 1965/66 di Indonesia dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap para penjahat HAM.
Editor : Yan Chrisna
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...