Stilleto
Kata-kata ”kejam” yang dilontarkan bagaikan stilleto yang memutus urat nadi kasih dan ikatan persaudaraan.
SATUHARAPAN.COM – Dia adalah wanita yang berkuasa dan disegani. Semua yang ada padanya menunjukkan power dan authority… Ruang kantor yang luasnya agak berlebihan… meja kerja besar dan berat dengan kualitas nomor satu, layar komputer ukuran empat puluh inci. Wanita itu bahkan memiliki kamar mandi dan ruang istirahat pribadi….
Dia adalah bos baru saya… dan sedini itu saya telah mendapatkan pesan yang mewanti-wanti agar tabah mendengarkan komentar dan tuduhannya yang tajam menghujam. Wah… kalau yang itu… saya tidak cemas apalagi takut…. Memiliki jam terbang panjang dalam menghadapi berbagai bos dalam perjalanan karier saya, saya menjuluki diri saya boneka bo-bo, boneka berisi udara yang selalu kembali berdiri setiap kali dijatuhkan.
Hingga suatu kesempatan yang ”mengesankan” ketika saya cukup beruntung mendapatkan dampratan Ibu tersebut, dan… saya langsung terkapar…! Boneka bo-bo di dalam diri saya langsung gembos kehilangan udara dan tergeletak tertusuk stilleto Ibu Bos ini….
Stilleto adalah sebuah pedang yang tipis, tajam dan, runcing. Diciptakan pertama kali pada akhir 1400-an di Italia, pedang ini segera populer menjadi senjata para ksatria, dengan fungsi khusus untuk ”menghabisi” lawan yang terjatuh atau yang telah terluka parah. Pedang ini mampu menembus sela-sela baju zirah, bahkan menembus titik lemah pada baju zirah itu sendiri! Tidak heran jika pedang ini terus meraih popularitasnya hingga akhir abad ke-19.
Di samping itu, kita mengenal pula stilleto sebagai sebutan untuk sepatu wanita. Sepatu stilleto dikenal dapat membuat betis wanita yang memakainya tampak terlihat sexy, dengan postur tubuh yang tegak membusung. Dan karena bentuknya yang runcing, sepatu stilleto juga dapat menjadi senjata mematikan bagi wanita pada saat dibutuhkan.
Pria dengan pedang stilletonya, wanita dengan sepatu stilletonya, dan kedua jenis makhluk paling sempurna ini dengan stilleto lain yang lebih dari sekadar alat pengecap. Lidah manusia, sejak dahulu kala telah menyebabkan amarah, pertengkaran, kebencian, dendam, bahkan pembunuhan.
Menurut Paul David Tripp seorang konselor dan rohaniwan di dalam bukunya War of Words, masalah kata-kata adalah masalah hati! Hati yang mengasihi diri lebih dari segalanya. Hati yang menyimpan sejuta hasrat yang ingin selalu terpenuhi. Dan hati… memaksa kita menggunakan kata-kata kita untuk memperolehnya.
Merupakan hal yang wajar bahwa manusia tidak pernah berhenti menginginkan dan tidak semua keinginan salah, demikian Paul menuturkan. Namun ketika keinginan—yang baik sekali pun—memegang kendali atas hati... hati tidak mengizinkan sesuatu pun menghalanginya untuk mendapatkan keinginan tersebut. Ketika harapan tidak terpenuhi… amarah membara… dan kata-kata ”kejam” dilontarkan bagaikan stilleto yang memutus urat nadi kasih dan ikatan persaudaraan.
Hasrat bagi diri sendiri memang tidak boleh mengendalikan hati, pusat jiwa yang mengendalikan segenap raga dan hidup. Karena baik jiwa, raga, dan hidup tidak pernah menjadi milik kita. Itu adalah milik Sang Penguasa Kehidupan. Pemilik Semesta menghendaki agar semua kata-kata yang kita ucapkan menuturkan keagungan-Nya, sekaligus mengantarkan berkat dan merangkul orang-orang di sekeliling kita.
Sudahkah kita menggunakan stilleto kata-kata kita dengan bijak?
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...