Stres Sebabkan Kehilangan Memori dan Penyusutan Otak
TEXAS, SATUHARAPAN.COM – Jika Anda menjalani kehidupan stres tinggi, Anda bisa kehilangan ingatan dan penyusutan otak sebelum usia 50, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan Rabu (24/10) dalam jurnal Neurology.
Studi menemukan, orang dewasa paruh baya dengan tingkat kortisol tinggi, punya volume otak yang lebih rendah dan fungsi kognitif yang juga lebih rendah, dibanding orang yang punya hormon kortisol lebih rendah, dan yang mengindikasikan penyebabnya adalah stres.
“Hormon kortisol terlibat dalam sejumlah proses tubuh normal termasuk metabolisme, imunitas dan formasi memori. Namun, ekstra kortisol juga dilepaskan saat kita stres, membuat seluruh proses tubuh jadi naik tingkatannya,“ kata penulis studi Dr Sudha Seshadri, profesor neurologi di UT Health San Antonio.
"Kami menemukan kehilangan ingatan dan penyusutan otak pada orang yang relatif muda, jauh sebelum gejala apa pun bisa dilihat," kata Seshadri. "Tidak pernah terlalu awal untuk sadar dan mengurangi stres,” katanya.
Kortisol adalah salah satu hormon stres paling utama tubuh. Ketika kita stres dan waspada tinggi, kelenjar adrenal menghasilkan lebih banyak kortisol. Hormon kemudian bekerja untuk mematikan berbagai fungsi tubuh.
Setelah krisis berlalu, kadar kortisol harus turun, dan sistem tubuh harus kembali normal. Tetapi jika stres terus-menerus, maka ibarat tombol alarm yang tetap ditekan, tubuh dapat terus rusak, menyebabkan kecemasan, depresi, penyakit jantung, sakit kepala, kenaikan berat badan, sulit tidur, dan, tentu saja, masalah ingatan dan konsentrasi.
Otak sangat rentan, kata para ahli, karena semua nutrisi yang dibutuhkan berfungsi optimal.
"Otak adalah organ yang sangat lapar," kata Keith Foley, direktur pada program sains dan program pencapaiannya untuk penyakit Alzheimer.
"Ini membutuhkan sejumlah besar nutrisi dan oksigen, agar tetap sehat dan berfungsi dengan baik. Jadi, ketika tubuh membutuhkan sumber daya tersebut untuk mengatasi stres, semuanya dibebankan pada otak, stres tinggi terhubung ke kehilangan memori,“ katanya.
Penelitian sebelumnya, telah menemukan hubungan antara risiko kortisol dan demensia, tetapi fokusnya kebanyakan pada orang tua dan area memori otak, yang disebut hippocampus.
Studi baru, kata Seshadri, melihat sekelompok pria dan wanita dengan usia rata-rata 48 tahun, dan melakukan scan otak MRI ke seluruh bagian otak, bukan hanya hippocampus.
Peneliti memilih lebih dari 2.000 orang, tanpa tanda-tanda demensia, dan memberi mereka melakukan berbagai tes psikologis untuk mengukur kemampuan berpikir mereka.
Sebuah penelitian jangka panjang dilakukan oleh Framingham Heart Study, yang disponsori oleh National Heart, Lung and Blood Institute. Mereka yang menjadi responden adalah penduduk Framingham dan keturunannya, di Massachusetts, sejak 1948.
Sekitar delapan tahun setelah pengujian awal, kelompok itu dievaluasi kembali. Kortisol serum darah diukur sebelum sarapan. Kemudian otak MRI dilakukan dan serangkaian tes memori dan kognitif diulang.
Setelah menyesuaikan data untuk mempertimbangkan usia, jenis kelamin, massa tubuh dan merokok, studi menemukan orang-orang dengan tingkat kortisol paling tinggi mengalami kehilangan memori.
"Saya tidak terkejut dengan perubahan kognisi," kata Foley, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. "Jika Anda memiliki kortisol yang lebih tinggi, Anda mungkin stres dan cenderung memiliki lebih banyak kesulitan pada tugas-tugas kognitif."
Stres Mempengaruhi Struktur Otak
Apa yang mengejutkan, kata Foley, adalah temuan studi tentang efek kortisol pada struktur otak.
Tingkat kortisol yang tinggi, dikaitkan dengan kerusakan lebih pada bagian otak yang memindahkan informasi ke seluruh otak (korona radiata), dan antara dua belahan otak (corpus callosum).
Menurut studi ini, otak orang-orang dengan kadar kortisol yang lebih tinggi memiliki otak yang lebih kecil, dua belahan otak yang bertanggung jawab untuk fungsi pikiran, emosi, bicara dan otot.
Rata-rata total volume otak otak pada orang-orang dengan tingkat kortisol yang tinggi adalah 88,5 dari total volume otak, dibandingkan dengan 88,7 pada orang dengan tingkat kortisol yang normal.
"Saya terkejut, Anda akan dapat melihat perubahan besar dalam struktur otak dengan tingkat kortisol yang tinggi dibandingkan dengan tingkat kortisol yang moderat," kata Foley. "Jika Anda melihat perubahan otak struktural di usia paruh baya, Anda bisa membayangkan apa yang terjadi pada saat Anda cukup dewasa untuk mengembangkan demensia."
Menariknya, efek dari kortisol tinggi pada volume otak hanya mempengaruhi wanita, bukan pria.
“Estrogen dapat meningkatkan kortisol,“ kata Dr Richard Isaacson, Direktur Klinik Pencegahan Alzheimer di Weill Cornell Medicine, dan sekitar 40 persen wanita dalam kelompok kortisol tinggi dalam penelitian itu sedang mengalami penggantian hormon.
Seshadri mengatakan, penelitian itu menyesuaikan untuk penggunaan terapi penggantian hormon.
"Itu tidak sepenuhnya mengesampingkan dampak negatif dari penggantian estrogen," kata Seshadri, "tetapi membuatnya kurang mungkin untuk cerita utama."
Seshadri juga menekankan hasil studi hanya menunjukkan hubungan, bukan penyebab, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat hubungan antara kadar kortisol yang tinggi dan demensia. Dia menyarankan orang-orang mempertimbangkan modifikasi gaya hidup untuk memerangi stres kehidupan modern.
Foley setuju. "Kami tahu, misalnya, orang yang berolahraga sepanjang hidup memiliki risiko lebih rendah terkena demensia," katanya. "Luangkan waktu untuk diri sendiri. Lakukan meditasi. Ada cara untuk mengendalikan stres yang akan mengarah pada hasil yang bermanfaat." (cnn.com)
Editor : Sotyati
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...