Studi Baru Pecahkan Misteri Pemanasan Suhu Greenland
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM – Greenland mulai memanas sekitar 19.000 tahun lalu, pada akhir zaman es terakhir, sama seperti di belahan bumi utara lainnya, ungkap beberapa peneliti pada Kamis (4/9) dalam sebuah laporan yang memecahkan paradoks tentang kapan pemanasan tersebut terjadi.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pemanasan tersebut terjadi pada 12.000 tahun lalu, menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Science, AS.
Lembaran es dalam jumlah besar menutupi Amerika Utara dan Eropa utara sekitar 20.000 tahun lalu, dalam beberapa bagian periode terdingin zaman es. Pada saat itu, suhu rata-rata global sekitar empat derajat Celcius lebih dingin dari masa praindustri.
Kemudian, perubahan orbit Bumi yang mengelilingi matahari meningkatkan energi surya yang mencapai Greenland pada awal sekitar 19.000 tahun lalu, menyebabkan pelepasan karbon dari laut dalam. Hal tersebut menyebabkan peningkatan bertahap dalam karbon dioksida atmosfer (CO2).
Pada masa lampau, studi tentang inti es dari Greenland tidak menunjukkan respons pemanasan seperti yang diharapkan dari peningkatan dalam aliran CO2 dan energi surya, kata ketua penulis Christo Buizert dari Oregon State University.
Dalam studi baru, sejumlah ilmuwan merekonstruksi suhu udara dengan memeriksa rasio isotop nitrogen dalam udara yang terperangkap di dalam es, bukan pada es itu sendiri, yang sudah digunakan dalam beberapa studi sebelumnya.
Metode baru pada kenyataannya mendeteksi pemanasan signifikan sebagai respons terhadap peningkatan CO2 pada atmosfer.
Menurut analisis tersebut, periode itu terjadi dari 19.000 hingga 12.000 tahun lalu, Greenland memanas sekitar lima derajat. Analisis tersebut sangat serupa dengan model iklim yang diperkirakan, kata beberapa peneliti.
Kenaikan tersebut menandakan awal dari apa yang disebut sebagai periode Holocene, yang hangat dan stabil dan memungkinkan peradaban manusia untuk berkembang.
“Masa pelelehan es terakhir merupakan contoh alam dari pemanasan global dan perubahan iklim,” kata Buizert. “Sangat penting untuk mempelajari periode ini karena itu dapat membantu Anda untuk lebih memahami sistem iklim dan seberapa sensitif suhu permukaan untuk CO2 di atmosfer.” (AFP)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...