Studi: Iman Membuat Cita-cita Merdeka Orang Papua Bertahan
BRISBANE, SATUHARAPAN.COM - Sebuah terbitan terbaru dari Dewan Keadilan Sosial Katolik Australia atau Australian Catholic Social Justice Council (ACSJC), kembali mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dan perjuangan rakyatnya yang meyakini suatu saat mereka akan merdeka.
Terbitan dalam bentuk serial paper itu ditulis oleh Peter Arndt, pejabat sebuah lembaga di bawah naungan gereja Katolik Australia. Dalam terbitan Catholic Social Justices Series nomor 82 itu, Peter Arndt berkisah tentang ribuan rakyat Papua yang disiksa, dipukuli, dipenjarakan, diperkosa dan dibunuh oleh aparat keamanan. Meskipun demikian, mereka tetap bertahan dengan cita-cita merdeka oleh kekuatan iman.
Karya Peter Arndt tersebut diberi judul In To The Deep, Seeking Justice for the People of Papua, dijual dengan harga A$7,50 dan sudah dapat dipesan melalui ACSJC.
Lewat karya tulis ini Arndt, yang merupakan pejabat Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Brisbane, mengisahkan percakapan-percakapannya dengan orang-orang Papua, kisah-kisah mereka dan mempertanyakan bagaimana seharusnya seorang beriman merespon penderita mereka.
Catholicoutlook.org, situs berita Keuskupan Parramatta, dalam berita tentang hadirnya studi ini, mengutip pernyataan Ketua Uskup-uskup Australia (Australian Catholic Bishop) yang membawahi ACSJC, Uskup Vincent Long OFM Conv.
“Kita tak kan dapat membaca kisah Peter Arndt tentang penderitaan penduduk asli Papua tanpa tersentuh. Dia menunjukkan bagaimana dia telah memahami keinginan mereka yang gigih untuk menentukan nasib sendiri dan bagaimana ia kemudian memahami bagaimana Injil memanggilnya untuk berjalan berdampingan dengan sahabat-sahabatnya (orang Papua) dalam perjalanan mereka," demikian komentar Uskup Vincent Long.
"Peter menempatkan pengalaman teman-temannya dalam konteks Kitab Suci dan melihat secara mendalam ajaran-ajaran Gereja tentang keadilan, menanyakan apa yang harus dia lakukan. Dia menemukan jawabannya dengan kejelasan dan keberanian," lanjut Vincent Long.
Catholic Outlook juga mengutip pernyataan Peter Arndt, yang mengatakan bahwa lewat buku ini ia ingin menggugah solidaritas umat Kristen terhadap apa yang dihadapi oleh orang Papua.
“Sebagian besar orang Papua adalah orang Kristen dan iman mereka mendukung mereka dalam perlawanan mereka terhadap pendudukan Indonesia,” tulis dia.
Ia mengatakan banyak tindakan perlawanan publik di Papua mengambil bentuk pertemuan doa, dan iman mereka sering diejek dan direndahkan oleh pihak berwenang.
“Sebelum saya mulai berjalan dengan orang Papua, saya tidak begitu mengerti arti solidaritas. Solidaritas, seperti yang dicontohkan oleh Yesus, adalah komitmen radikal kepada orang lain yang bahkan mengandung kemungkinan kehilangan nyawa,” kata dia.
Uskup Vincent Long mengatakan buku ini bagi orang-orang Australia dapat mengantarkan pengenalan lebih dekat akan tantangan yang dihadapi oleh orang Papua.
"Saya menyarankan karya tulis ini kepada semua orang yang ingin tahu lebih banyak tentang kebutuhan tetangga kita di wilayah ini, dan kepada semua orang yang mendengar jeritan orang miskin," kata dia.
Tentang Peter Arndt
Peter Arndt banyak dibicarakan di Indonesia dua tahun lalu saat namanya turut disebut dalam sebuah penelitian tentang Papua yang mengejutkan, yang diluncurkan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Brisbane.
Peter Arndt bersama Suster Susan Connelly dari komisi yang sama berangkat ke Papua melakukan penelitian dua tahun lalu. Mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong.
Dari hasil penelitian mereka lewat misi pencarian fakta itu, mereka membuat laporan berupa dokumentasi berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, meliputi bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.
Laporan itu juga membandingkannya dengan sebuah genosida dalam gerak lambat dan menyatakan bahwa ada kekhawatiran tergesernya orang Papua secara etnis maupun agama.
Laporan tersebut ditulis oleh Suster Susan Connelly dengan bantuan Arndt. Suster Connelly dikenal sebagai pembela HAM yang sangat dihormati. Dalam komentarnya tentang laporan mereka, ia mengatakan bahwa kunjungannya ke Papua seperti "melangkah kembali ke dua puluh tahun silam ketika saya pertama kali pergi ke Timor Timur".
"Penindasan yang sama (dengan di Timor Timur) ada di mana-mana, kecurigaan yang sama, kebingungan, frustrasi dan kesedihan," kata dia.
Dia menceritakan tentang seorang pria yang memegangi tangannya dan berkata, "Kami berada dalam bahaya." Pernyataan sederhana itu, menurut Conelly, menyimpulkan seluruh pengalamannya mengunjungi Papua.
Editor : Eben E. Siadari
Satu Kritis, Sembilan Meninggal, 1.403 Mengungsi Akibat Erup...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 1.403 korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, N...