Suami: Meriam Tidak Pernah Menjadi Muslim
KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM – Daniel Wani, suami dari Meriam Yehya Ibrahim – perempuan Sudan yang dihukum gantung karena dianggap murtad – mengatakan, “Istri saya tidak pernah menjadi seorang Muslim. Sebagai penduduk Amerika, saya minta pada semua orang dan pemerintah Amerika untuk menolong saya.”
Daniel, yang saat ini sedang di Sudan untuk memperjuangkan kebebasan keluarganya, melaporkan bahwa Meriam yang saat ini tengah mengandung tidak menerima nutrisi yang cukup atau perawatan medis, selain itu Meriam juga mengalami penganiayaan dari narapidana lainnya. Daniel juga mengungkapkan bahwa kaki Meriam bengkak karena belenggu, dan ia juga mengalami pendarahan.
“Secara psikologis, ia sudah lelah,” tutur Daniel seperti yang dilaporkan Christian Today pada Kamis (22/5).
Sementara itu Morning News melaporkan bahwa para cendekiawan Muslim mengunjungi Meriam dan membujuknya untuk kembali ke Islam.
Perjuangan Membebaskan Keluarga
Saudara Daniel, Gabriel mengatakan Daniel mengunjungi Sudan pada Juni 2013 untuk mengamankan izin masuk Meriam dan Martin ketika seorang pria mengaku sebagai saudara Meriam dan mengajukan tuduhan murtad terhadap Meriam.
“Pria yang diduga sebagai saudara Meriam itu datang ke rumah Meriam dan ingin tahu mengapa ia tidak beragama Islam. Pria itu ke polisi dan menuduh Daniel menculik saudara perempuannya – maksudnya Meriam,” tutur Gabriel kepada Daily Mail.
Daniel Wani adalah seorang insinyur biokimia yang tinggal di Manchester, New Hampshire. Minggu lalu, para senator negara bagian itu mendesak Sekretaris Negara John Kerry untuk mengamankan pembebasan Meriam dan putranya yang berusia 20 bulan, Martin, yang juga sedang ditahan.
“Kami meminta tindakan segera dan keterlibatan diplomatik secara penuh untuk menawarkan suaka politik dan mengamankan Meriam dan menyelamatkan putranya,” tulis mereka dalam suratnya.
Dunia Kecam Eksekusi Meriam
Seperti dilaporkan, berbagai negara juga lembaga HAM mengecam eksekusi mati terhadap Meriam. Dunia internasional mendesak Sudan untuk membebaskan Meriam.
Departemen Luar Negeri Inggris menyebut hukuman terhadap Meriam sebagai tindakan yang barbar. Mereka mendesak diplomat Sudan Bukhari Afandi untuk membatalkan hukuman terhadap Meriam. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk hukuman tersebut.
“Penerapan dan pemaksaan hukuman mati pada perempuan hamil atau ibu yang baru melahirkan adalah hal yang kejam dan mengarah ke pelanggaran terhadap larangan menyiksa dan kekejaman lainnya, hukuman atau perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan,” kata PBB dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya pada Kamis (15/5), Meriam dihukum 100 kali cambuk dan divonis hukuman gantung karena menikah dengan seorang laki-laki Kristen serta menolak kembali ke Islam. Meskipun dibesarkan oleh ibu dengan latar belakang Kristen Orthodox Ethiopia, Meriam dianggap bergama Islam karena ayahnya beragama Islam.
Kehamilan Meriam menunda eksekusi mati atas dirinya dan akan diberikan kesempatan hidup setidaknya dua tahun lagi untuk menyusui anaknya.
Sementara itu juru bicara parlemen Sudan, Fatih Izz Al-Deen mengatakan putusan terhadap kasus Meriam belum final. (christiantoday.com)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...