Suami yang Menghilang
SATUHARAPAN.COM – Kerabat saya ditinggal suami sekitar sembilan tahun lalu dengan tiga orang anak—Si Bungsu berusia sekitar empat bulanan. Tanpa alasan Sang Suami pergi meninggalkan rumah dengan membawa modal usaha mereka. Tak pernah pula ada kabar dari suaminya.
”Life must go on,” katanya. Di satu sisi ia harus membesarkan ketiga anaknya dengan modal usaha seadanya. Di sisi lain, ia harus pula mengajarkan makna pengampunan kepada anak sulungnya yang mulai membenci bapaknya. Ia juga harus menepis seruan orang-orang agar melupakan suaminya dan menikah lagi.
Suatu hari, dalam sebuah perhelatan, kerabat kami terkejut melihat ia dan suami serta ketiga anaknya datang bersama. Heran dan terdiam, juga membisu merupakan respons kebanyakan kami. ”Apa yang Kau lakukan ketika ia datang ke rumah?" tanya saya padanya.
”Aku tidak peduli apa kata orang, yang penting aku berlari, kupeluk dia, kubilang ke anak bungsuku: ’Ini Bapak Nak, ini Bapak!’"
”Tanpa syarat apa pun?” Tanya saya penuh keraguan bercampur kekaguman.
”Ya,” jawabnya pasti.
Dari kerabat yang lain saya mendengar, pada masa awal kepergian suaminya ia sering sedih, kecewa, marah, bahkan benci. Hari itu, saat kami melihat mereka bersama, saya yakin kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan kebencian telah berubah menjadi penerimaan dan pengampunan.
Kasih sudah mengubahnya.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...