Sudah 6 Tahun Hubungan Obama dan Netanyahu Tidak Harmonis
Para pengamat belum dapat menjawab apakah masih ada "jalan kembali dari tepi jurang".
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Surat Kabar Amerika Serikat, The New York Times berpendapat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Barack Obama telah memilih untuk mengintensifkan konflik yang sedang berlangsung diantara mereka berdua daripada menguranginya.
Dalam edisi hari ini (31/1), surat kabar itu mengatakan para pejabat senior Kementerian Luar Negeri AS juga tidak banyak mencari solusi atas perbedaan pendapat yang sudah berlangsung selama enam tahun terakhir, yang diikuti oleh upaya saling menahan diri dari kedua pemimpin.
Setelah Ketua DPR John Boehner mengumumkan bahwa ia telah mengundang Netanyahu untuk berpidato di depan Kongres tanpa terlebih dahulu memberitahu presiden, Obama mengatakan ia akan menolak untuk bertemu dengan pemimpin Israel itu dalam kunjungannya ke AS. Ia menambahkan,"tidak pantas" untuk bertemu dengannya sementara dua minggu sesudahnya perdana menteri Israel itu akan menghadapi pemilu.
Seorang juru bicara AS mengkritik keputusan Israel Jumat lalu untuk membuka tender pembangunan 450 unit rumah di Tepi Barat. Jurubicara itu mengatakan langkah itu "hanya akan merusak kemampuan Israel untuk menggalang dukungan internasional".
The Times mengatakan bahwa jika Netanyahu terpilih kembali, "hasilnya adalah kebekuan secara virtual hubungan di tingkat paling atas kedua negara" dalam sisa masa jabatan Obama.
Surat kabar itu sebelumnya melaporkan bahwa Netanyahu baru-baru ini mencoba mendekati para petinggi senior Partai Demokrat, namun gagal untuk mengurangi ketegangan.
DI sisi lain, Efraim Halevy, mantan kepala badan intelijen Israel, Mossad, mengatakan bahwa pemerintah Israel secara diam-diam telah memutuskan untuk mendapat dukungan Partai Republik.
"Israel kini menempatkan taruhan pada salah satu pihak," kata Halevy. Dan, "Saya pikir itu kesalahan."
"Ini adalah krisis dalam bentuk berbeda," kata Eytan Gilboa, pakar hubungan Israel-Amerika di Bar-Ilan University, kepada The New York Times.
Sementara itu, Martin Indyk, mantan utusan khusus AS untuk negosiasi-Palestina Israel, mengatakan bahwa antara AS dan Israel terjadi krisis diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tidak jelas apakah ada "jalan kembali dari tepi jurang".
"Jadi pertanyaannya adalah, apakah ada cara kembali dari tepi jurang? Karena jika Bibi yang terpilih kembali, kami harus menemukan cara dan dia juga harus menemukan jalan." Pada akhirnya, menurut dia, kedua pemimpin harus memutuskan untuk mengubur sikap bermusuhan.
Sementara itu, Edward Djerejian, mantan duta besar AS untuk Israel, mengatakan dia "tidak akan mengantisipasi perubahan besar dalam hubungan sampai pemilihan presiden pada tahun 2016."
Sedangkan Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Ron Dermer, kepada The Atlantic mengatakan Boehner memegang peranan untuk menginformasikan Obama tentang keputusannya mengundang Netanyahu berbicara dengan Kongres.
"Perdana menteri dan presiden memang tidak setuju pada sejumlah isu, tapi perdana menteri tidak pernah dengan sengaja memperlakukan presiden tidak hormat-dan jika itu yang dirasakan oleh beberapa orang, tentu saja itu bukan maksud perdana menteri," kata Dermer.
Dermer menambahkan dirinya diberitahu bahwa tugas Ketua DPR untuk memberitahu pemerintah tentang undangan mereka terhadap Netanyahu. "Jadi tidak elok apabila saya yang mengangkat isu ini kepada pemerintah AS, termasuk dalam pertemuan dengan menteri luar negeri, sebelum Ketua DPR memberitahu pemerintah AS."
Editor : Eben Ezer Siadari
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...