Sudan Selatan Terancam Kelaparan Akibat Konflik
SATUHARAPAN.COM – Konflik perebutan kekuasaan di Sudan Selatan menyebabkan jutaan warganya terancam kelaparan. Demikian laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), hari Senin (16/12).
Sudan Selatan adalah negara termuda di dunia ini, terbentuk pada 9 Juli 2011 dan menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) lima hari kemudian. Namun negara itu tidak pernah keluar dari konflik, bahkan belakangan menunjukkan kondisi yang memburuk.
Sudan Selatan merupakan bagian dari negara Sudan yang memperoleh kemerdekaan pada 1956. Negara itu mengalami perang saudara terus-menerus, hingga referendum pada 2011. Namun Sekretaris jenderal PBB menyebutkan kemerdekaan itu sebagai awal yang baik, namun hilang dari hadapan negeri itu.
Sejak terpisah dari Sudan, dan terjerumus konflik politik dan kekerasan antara Presiden Salva Kiir dan wakilnya, Riek Machar, sekitar 1,9 juta dari sekitar 8,5 warga negara itu mengungsi, termasuk 100.000 yang berlindung di markas misi PBB di negara itu, UNMISS. PBB bahkan menyebutkan sekitar tujuh juta warga negara itu dalam ancaman kelaparan dan penyakit. Itu hampir seluruh warga negara dalam masalah serius.
Pekan lalu, Dana Anak-anak PBB (UNICEF) memperingatkan bahwa seluruh generasi baru atau anak-anak Sudan Selatan beresiko kehilangan masa depan akibat konflik selama setahun terakhir. Sampai saat ini, hampir 750.000 anak terlantar, dan 320.000 lebih hidup sebagai pengungsi.
Selain itu, UNICEF mengatakan bahwa sekitar 400.000 anak tidak lagi sekolah, 12.000 anak dilaporkan dijadikan tentara oleh angkatan bersenjata dan kelompok perlawana. Mereka menjadi korban kekerasan, dan mengalami masalah kekurangan gizi dan penyakit.
Konflik Berkepanjangan
Sudan Selatan awalnya bagian dari Republik Sudani ketika mmencapai kemerdekaan pada tahun 1956. Namun segera setelah itu terlibat perang saudara, sehingga wilayah selatan menjadi wilayah otonomi pada 1972. Namun kembali terjadi perang saudara pada 1983, sehingga dilakukan perjanjian damai pada 2005.
Pada 9 Juli 2011 dilakukan referendum, dan Sudan Selatan menjadi negara sendiri dengan dukungan 99 persen rakyat menyatakan memisahkan diri dari Sudan. Namun setelah itu, konflik muncul, dan pecah menjadi konflik bersenjata antar faksi pada Desember tahun lalu.
Perjuangan kemerdekaan negara itu merupakan awal yang seharusnya didasarkan pada toleransi, tata pemerintahan yang baik, akuntabilitas dan kesatuan, namun kesempatan itu menghilang di depan mata, kata Ban Ki-moon, Sekjen PBB.
"Saya kecewa,’’ kata Ban dalam sebuah pernyataan. "Para pemimpin Sudan Selatan dengan ambisi pribadi mereka telah membahayakan masa depan seluruh bangsa."
Beberapa bulan terakhir terjadi beberapa serangan kekerasan yang menyebabkan ratusan orang mengungsi. Persainagn politik dan pertempuran antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya, Riek Machar, menyebabkan krisi serius di negara itu.
Perebutan kekuasaan atas dasar kelompok etnis dan keyakinan telah menjadi akar konfloik di negeri itu. PBB menyerukan pemimpin kedua faksi untuk menyetujui pengaturan kekuasaan secara inklusif dan memulai fase transisi pemerintahan. "Mereka harus mengakhiri budaya impunitas, jika ingin mencapai rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan ,’’ katanya.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...