Sultan: Budaya untuk Solusi Konflik
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sri Sultan HB X) menggelar peringatan 27 Tahun Jumenengan di Bangsal Pagelaran pada Senin (18/5) malam. Selain pidato Sri Sultan HB X, upacara Jumenengan kali ini juga diisi dengan pementasan Tari Bedhaya Sang Amurwabhumi dan pementasan Wayang Orang dengan lakon “Suprabawati Boyong”.
Sri Sultan dalam pidatonya menyoroti perihal transformasi kebudayaan Jawa. Menurut pria nomor satu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini, budaya Jawa kini sedang mengalami masa transformasi, selayaknya filosofi Jawa, yaitu proses purwo, madyo, dan wasono (awal, pertengahan, dan akhir).
“Setiap fenomena (wagingsiring lelakon) selalu berhubungan dengan tiga hal, kenyataan, pernyataan, dan pertanyaan. Sekarang ini kenyataan secara implisit menunjukkan, budaya Jawa sedang mengalami transformasi sesuai filosofi Jawa, bahwa hidup ini adalah proses purwo, madyo, wasono. Dinamika proses yang terus mengalir bagaikan gerak joged mataraman itu selalu ada kesesuaian antara jangkah dengan jongko (laku dan waktu),” ujar Sri Sultan.
Perubahan budaya tersebut menurut Sultan merupakan suatu kepastian, meskipun prosesnya cenderung lambat. Perubahan tersebut dimulai sejak Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Republik Indonesia, yang ditandai dengan terbitnya Maklumat 5 September 1945.
“Sejak Maklumat 5 September 1945 sebagai suatu pernyataan bergabungnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ke pangkuan Republik dikumandangkan, seluruh unsur budaya Yogyakarta yang memiliki potensi, mewujud menjadi budaya bangsa mengalami transformasi, dari orientasi kosmologis makro menuju orientasi kosmologi mikro ke dimensi yang permanen. Proses perubahan yang berarti laku sekaligus lakon itu terjadinya secara lambat wagingsir, gilir gumanti, evolutif, tetapi pasti karena sebuah keniscayaan sejarah,” jelas Sri Sultan.
Perubahan kebudayaan yang dinamis tersebut, seharusnya bisa dijadikan salah satu solusi untuk memahami berbagai fenomena, baik yang terjadi di internal keraton, maupun di luar keraton. Oleh karena itu, Sri Sultan memandang bahwa budaya dapat dijadikan salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik.
Pasalnya, menurut Sri Sultan, jalur budaya seharusnya menjadi arus utama dalam membangun persahabatan dan persaudaraan yang lestari. Hakekat dialog budaya adalah mediasi kemanusiaan, yang bersumber dari hati nurani dengan tercapainya konsensus yang berkelanjutan.
Jika dirangkum, setidaknya ada tiga peran penting kebudayaan, pertama, kekuatan yang mengikat cita-cita dan rasa kebersamaan antarbangsa, antarkomunitas, dan antarkeluarga. Kedua, memberi arah dan muatan pendidikan teologi. Ketiga, sebagai media rekonsiliasi dan akulturasi untuk meningkatkan derajat hidup.
“Dalam masyarakat Jawa, jika ada potensi perbedaan, seyogyanya kita kembali menggunakan tiga peran penting tersebut, sebagai mediasi menuju kondisi elegan, bagi para pihak sebagai ajaran Jawa, ‘menang tanpo ngasorake’ (menang tidak menjatuhkan),” imbuh Sri Sultan.
Dalam 27 Tahun Jumenengan Sri Sultan ini juga ditampilkan Tari Bedhaya Sang Amurwabhumi. Tarian yang diciptakan oleh Sri Sultan HB X ini menceritakan perkawinan antara Sang Amurwabhumi (Ken Arok) dan Prajnaparamita (Ken Dedes) yang menyimbolkan semangat patriotisme dan filosofi kepemimpinan.
Tarian yang dibawakan oleh sembilan penari utama dan empat penari pengiring ini sengaja diciptakan oleh Sri Sultan HB X sebagai hadiah untuk sang ayah, Almarhum Sri Sultan HB IX. Tarian ini pertama kali ditampilkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1990 silam.
Jumenengan merupakan sebuah upacara yang rutin digelar setiap tahun di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Upacara ini merupakan peringatan kenaikan tahta bagi seorang sultan yang berkuasa di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagi Sri Sultan HB X, Jumenengan kali ini adalah yang ke-27, terhitung sejak dinobatkan sebagai sultan pada 7 Maret 1989 silam.
Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 30 April mengeluarkan Sabda Raja berisi perubahan gelar Raja Keraton Yogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono menjadi Sultan Hamengku Bawono. Kemudian pada 5 Mei mengganti nama anak sulungnya yaitu Gusti Raden Ajeng Nurmalita Sari atau Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi.
Adik Sultan, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat mengharapkan Sabda Raja itu dibatalkan.
Menurut Yudhaningrat, Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HB X pada 30 April dan 5 Mei 2015 telah merombak "paugeran" atau aturan baku di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Juga penobatan GKR Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi yang disinyalir ingin menjadikan putrinya sebagai penerus tahta juga sama sekali tidak sesuai dengan paugeran (aturan keraton).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bahaya Aneurisma Otak dan Cara Penanganannya
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM - Dokter Subspesialis Aneurisma Mardjono Tjahjadi dari Mandaya Royal Hosp...