Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:17 WIB | Senin, 18 April 2016

Sumini dan Nani Lelah Dicap Komunis

Suasana Simposium Nasional bertema 'Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan', di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari Senin (18/4).‎ (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dua perempuan yang pernah memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Sumini (70) dan Nani Nurani (75), meminta negara bersikap adil. Mereka mengaku lelah menerima cap komunis yang masih dilayangkan masyarakat.

‎Hal tersebut terungkap dalam acara Simposium Nasional bertema 'Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan', di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari Senin (18/4).

Sumini menceritakan masa mudanya kala menjadi ketua ranting organisasi sayap PKI, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Alasan saat itu bergabung Gerwani, dia menjelaskan, karena program yang ditawarkan untuk memajukan rakyat, terutama kaum perempuan. Mulai dari menyadarkan perempuan agar tidak buta huruf, bertani, hingga menolak perkawinan di usia dini.

Sumini menyatakan, hal tersebut membawa langkah kakinya dari Kabupaten Pati menuju Kota Jakarta sampai Bogor. Dia mengaku ingin membantu kaum perempuan dalam sektor pertanian.

Akhirnya, dua bulan kemudian, dia mengaku kembali ke Kabupaten Pati. Namun, keputusannya untuk pulang justru disambut dengan cemoohan warga. Sumini pun menyebut Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha milik militer menyudutkan Gerwani dan menyulut kemarahan warga.

‎"Saat balik ke Pati, saya dibilang itu dia yang nyiletin jenderal, yang menyongkel mata jenderal. Ironisnya Gerwani disebut melakukan kegiatan tidak bermoral," ucapnya.

‎Karena itu, Sumini berharap Simposium Nasional bisa menjadi jalan keluar agar dirinya tidak lagi mendapatkan perlakukan intimidasi.

"Apa salah saya? Saya ini masih sering di intimidasi. Mau kumpul-kumpul arisan, diintimidasi. Apa salah saya," ucapnya sambil menahan air mata.

Minta Keadilan

Sementara itu, Nani Nurani yang berasal dari Kabupaten Cianjur meminta keadilan pemerintah. Bahkan, dengan tegas dia mengatakan, tidak rela mati sebelum namanya direhabilitasi dari cap anggota PKI.

Terkait Gerakan 30 September (G30S), Nani mengaku hanya pernah mendengar. Hubungannya dengan PKI, hanya sebatas undangan untuk bernyanyi saat partai tersebut merayakan ulang tahun di daerah tempat tinggalnya saat itu.

"Saya hanya pernah diminta bernyayi saat ulang tahun PKI di Kecamatan Cipanas saya bernyanyi sunda klasik untuk Soekarno," katanya.

Nani mengaku ‎dituduh biro khusus PKI. Kemudian pada tahun 1966‎, dia mengaku dijadikan pasien rumah sakit jiwa hingga merasa depresi.

Dia melanjutkan, saat diizinkan pulang dan kembali ke Kabupaten Cianjur, tahun 1968, dia langsung ditangkap oleh lima orang. Untung, katanya, tentara memberikan surat pembelaan saat itu.

Tidak berhenti sampai di situ, tahun 1969, Nani kembali ditangkap di Bukit Duri, Jakarta. Dia mengaku dijatuhi hukuman enam tahun penjara.

"Tapi, karena alasan sakit, saya akhirnya hanya menjadi tahanan rumah, hingga bulan April akhirnya dibebaskan," katanya.

50 tahun berlalu, kisah Nani yang disangkutpautkan dengan PKI ternyata belum berakhir. Saat ini, Nani mengaku tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Tahun 2011 silam, dia mengatakan, telah mencoba mengajukan permohonan rehabilitasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat‎. Namun, permohonan tersebut ditolak, dengan alasan di luar kewenangan pihak pengadilan.

"Saya tidak menuntut permintaan maaf. Saya minta keadilan untuk kehidupan saya. Saya tidak menikah, karena saya takut dicap PKI," katanya.

"Saya belum rela mati, karena kasus ini belum tuntas," Nani menambahkan.

Saat ini, Pemerintah tengah berupaya melakukan proses rekonsiliasi (non-judicia) pada enam kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa.

Rencananya, ‎Presiden Joko Widodo akan berpidato soal penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan rekonsiliasi pada tanggal 2 Mei 2016 mendatang.

‎Meski melewati jalur rekonsiliasi, keluarga dan korban berharap pemerintah tetap mengakomodasi proses rehabilitasi demi pemulihan nama baik mereka di tengah masyarakat.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home