Surya Anta Ginting Deklarator Papua Menentukan Nasib Sendiri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Duduk sendirian di belakang sebuah meja kayu sederhana berpakaian kasual dengan bersandal jepit, Surya Anta Ginting pada hari Selasa (29/11) lalu memecah apa yang oleh kebanyakan orang Indonesia selama ini dianggap tabu.
Sebagai juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) ia membacakan deklarasi mendukung "Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Bangsa West Papua," di hadapan sejumlah wartawan dan puluhan aktivis, di salah satu ruangan di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
"Kami menggunakan nama West Papua, bukan Papua Barat, karena itu yang dipakai oleh rakyat West Papua," kata Surya, menggaris bawahi mengapa deklarasi itu menggunakan istilah West Papua, dan bukan Papua Barat atau Papua.
Ada sembilan seruan yang disampaikan melalui deklarasi itu. Di antaranya adalah penegasan bahwa West Papua adalah sebuah bangsa dan berhak menentukan nasib sendiri melalui mekanisme referendum. Deklarasi itu juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.
Kendati tak banyak media arus utama yang mengangkat aksi deklarasi ini, sejumlah media alternatif, terutama di Papua, menyambutnya dengan menempatkannya sebagai berita penting. Bukan saja karena isi deklarasi itu yang lugas menyatakan dukungan terhadap referendum, tetapi terutama adalah karena ia dideklarasikan oleh sebuah kelompok yang diisi oleh orang-orang non-Papua.
Ini sebuah perkembangan baru karena selama ini ada kesan suara untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua hanya kehendak rakyat Papua. "Beliau benar-benar merobek kultur militer dan pemerintah Indonesia yang penuh kebohongan selama lima dekade," kata Pendeta Socratez S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, sesaat setelah ia membaca isi deklarasi FRI West Papua. Socratez selama ini memang dikenal kritis terhadap Jakarta.
"Pak Surya akan dikenang sepanjang sejarah oleh rakyat dan bangsa Papua dan semua orang yang mencintai keadilan, kebenaran, kedamaian dan berkehendak baik," kata dia.
Solidaritas Orang Indonesia untuk Papua
Menurut Surya Anta, pria kelahiran Medan tahun 1980 dengan latar belakang suku Karo bermarga Ginting, FRI West Papua adalah sebuah aliansi beranggotakan sejumlah kelompok aktivis. Kelompok-kelompok itu adalah Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis dan Perkumpulan Soolidaritas Net.
Kepada satuharapan.com, Surya Anta mengatakan FRI West Papua memang diisi oleh orang-orang non-Papua yang memiliki solidaritas yang tinggi terhadap perjuangan rakyat Papua yang ingin menentukan nasib sendiri.
"Di dalamnya tidak ada orang Papua, tetapi orang-orang Indonesia. Mengapa? karena kami sudah memperlakukan bangsa Papua sebagai bangsa sendiri. Kalau pun ada yang menjadi cabang (kami) di Papua, mereka mengorganisasi orang Indonesia di Tanah Papua," kata Surya Anta, dalam konferensi yang diawali dengan pemeriksaan secara seksama tanda pengenal para yang hadir oleh Veronica Koman, pengacara LBH Jakarta..
Surya Anta tidak dapat menyebut berapa kira-kira jumlah orang yang tergabung dalam aliansi ini. Namun sebagai perbandingan, ia mengatakan dalam aksi 1 Desember 2016 untuk merayakan hari ulang tahun West Papua, akan ada 200 orang yang ikut berdemonstrasi di Jakarta. Ia juga menggambarkan anggota aliansi ini umumnya berusia muda, para mahasiswa dan aktivis.
Dalam salah satu bagian deklarasi yang dibacakan pada hari Selasa (29/11), dikemukakan tujuh alasan yang dijadikan dasar mengapa rakyat Indonesia non-Papua diajak mendukung Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Pertama, Dunia akan lebih baik dan indah apabila setiap bangsa tidak hidup dalam penjajahan dan dapat bekerjasama secara demokratis, adil dan setara.
Kedua, yang terjadi di tanah West Papua adalah penindasan sistematis yang tidak manusiawi. Ketika berbicara kemanusiaan namun membiarkan penjajahan di atas tanah West Papua terus berlanjut, maka, sesungguhnya manusia sedang bertindak tidak manusiawi.
Ketiga, solidaritas terhadap bangsa West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri juga merupakan bagian dari perjuangan mendemokratisasikan rakyat dan bangsa Indonesia, memperjuangkan kesadaran kemanusiaan yang beradab terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.
Keempat, solidaritas terhadap bangsa West Papua untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari perjuangan melawan Imperialisme dan Korporasi Internasional yang menyokong praktik kolonialisasi NKRI di tanah West Papua.
Kelima, solidaritas juga merupakan bagian dalam perjuangan melawan rasisme terhadap siapapun, termasuk bangsa West Papua.
Keenam, tidak ada jalan lain untuk menghentikan praktik kolonialisme dan militerisme di West Papua selain mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri.
Ketujuh, tidak ada jalan lain, yang lebih bermoral guna menghentikan genosida “perlahan” di West Papua selain mendukung Hak Menentukan Nasib sendiri.
Sejak Tahun 2002
Surya Anta sudah menjadi aktivis sejak tahun 2000. Pernah mengecap kuliah di Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta, ia saat ini juga adalah juru bicara Partai Pembebasan Rakyat. Di masa mahasiswa ia menjadi aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang pernah mendukung referendum Timor Leste.
Surya mengaku sudah terlibat dalam solidaritas dengan Papua sejak tahun 2002, sejak ia menjadi aktivis mahasiswa di Yogyakarta. "Yang berbeda adalah kali ini kami sudah menyimpulkan bahwa West Papua adalah sebuah bangsa," kata Surya.
Surya meyakini banyak warga negara Indonesia yang bukan Papua memiliki perasaan seperti dirinya, yang bersimpati dan solider pada perjuangan penentuan nasib sendiri Papua. Namun, dukungan itu masih tersebar dan belum terkoordinasi.
Ia mengambil contoh ketika terjadi pengepungan mahasiswa Papua di asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta. Menurut dia, dukungan masyarakat sangat luas.
"Banyak yang sudah mendukung dengan cara yang sangat halus. Misalnya setiap kali acara kampanye menentukan nasib sendiri di West Papua, orang-orang membagikan minuman, itu bentuk dukungan yang sangat bagus. Tetapi solidaritas seperti itu, tidak bisa sekadar berserak. harus disatukan," kata Surya.
"Dan harus ditunjukkan dalam tindakan politik. Apa yang akan kami lakukan, dengan membentuk FRI, dengan melakukan aksi, adalah supaya kerusakan kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah RI tidak merusak yang lain sehingga tidak ikut-ikutan mengatakan rakyat Papua monyet. Melalui aksi, kampanye, melalui tulisan, kami mau menunjukkan kalau mau jadi bangsa beradab, jangan lakukan penjajahan, sebab kita (Indonesia) dulu juga adalah korban penjajahan, korban rasisme," kata dia.
Banyak di antara wartawan yang hadir pada saat itu mengungkapkan pesimisme kepada gerakan yang dipelopori oleh FRI West Papua. Dukungan terhadap aspirasi menentukan nasib sendiri, dianggap tidak populer di Indonesia dan mereka akan ditolak. Bahkan di luar acara deklarasi itu sendiri, puluhan anak muda yang menamakan diri Front Penyelamat Indonesia (FPI) berunjuk rasa menolak deklarasi.
Ketika ditanya, argumentasi apa yang akan ia bangun untuk meyakinkan masyarakat Indonesia selain argumentasi konflik dengan Jakarta yang kurang populer, Surya Anta sudah memiliki jawabannya.
"Argumen sejarah. Mereka (West Papua) bukan bagian dari proklamasi 17 Agustus 1945. Ketika proklamasi tidak ada Papua. Ketika deklarasi kemerdekaan Papua 1961, baru Soekarno melalui pidatonya, mengumumkan Trikora," kata dia.
Saat ditanya lebih jauh, apakah dia tidak melihat upaya dialog yang selama ini ingin diupayakan antara Jakarta dan Papua, tidak lebih baik dibandingkan dari referendum, Surya juga sudah memiliki jawaban.
"Posisi kami, kami menyerukan kepada kawan-kawan di United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), berdialog hanya untuk penentuan nasib sendiri, tidak untuk otonomi khusus, atau yang diperluas. Karena sekarang rakyat West Papua memang menghendaki jalan untuk menentukan nasib sendiri. Dialog hanya untuk membahas soal-soal hak menentukan nasib sendiri," tutur dia.
Menjawab pertanyaan, untuk menggalang dukungan dari masyarakat Indonesia, wilayah mana yang akan menjadi prioritasnya, apakah kota-kota di Jawa atau di luar Jawa, Surya mengatakan prioritasnya adalah kaum muda dan buruh. "Secara teritori, kota-kota besar dan kota penting pergerakan, termasuk Yogyakarta," tutur dia.
Hentikan Adu Domba
Di bagian lain pernyataannya, Surya menyerukan agar Indonesia berhenti melakukan intervensi terhadap Melanesian Spearhead Group (MSG) terkait dengan keinginan ULMWP mendapatkan keanggotaan penuh pada organisasi negara-negara Pasifik tersebut.
"Pemerintah Indonesia harus berhenti melakukan intervensi kepada Papua Nugini, kepada Fiji," kata dia.
Dia berharap Indonesia menghentikan politik adu domba terhadap bangsa-bangsa di Pasifik karena Indonesia sudah pernah mengalaminya pada masa penjajahan Belanda.
Menjawab tuduhan bahwa perjuangan hak menentukan nasib sendiri hanya mendapat dukungan segelintir rakyat Papua Surya Anta mengatakan fakta di lapangan menunjukkan aksi-aksi unjuk rasa di Papua dihadiri ribuan orang.
"Dan ketika aksi serentak, di Jayapura, Manokwari, Sorong, bisa menutup kota. Atau ketika pembunuhan tujuh orang di Manokwari seminggu setelah kedatangan Jokowi. Manokwari lumpuh total. Orang tumpah-ruah ke jalan. Kalau perjuangan West Papua ini tidak didkukung rakyat, maka setiap kali pembantaian, penyiksaan, tidak akan melahirkan mobilisasi politik. Atau kelompok muda di AMP, KNPB, tidak akan dukung. Ini adalah cermin dari kehendak rakyat, bukan sekadar gagasan orang muda. Bukan sekadar gagasan orang tua yang terlibat 1961. Tetapi ini adalah pertemuan dari kesadaran dari orang muda dan tua."
Menjawab kekhawatiran bahwa tuntutan referendum Papua dapat menjalar kepada tuntutan serupa dari daerah-daerah lain, salah seorang aktivis FRI West Papua, Sherr Rinn, seorang perempuan kelahiran Ujung Pandang, menepisnya dengan santai.
"Jangan anggap ini masalah berat. Biasa saja," kata Sherr Rin.
Untuk menjadi sebuah bangsa, kata Sherr Rinn, membutuhkan proses dan lama. Bangsa, kata dia, bukan sesuatu yang diidealisir pemimpinnya. "Banyak yang menyebarkan logika pasaran, kalau Papua merdeka, Aceh minta merdeka, Kalimantan merdeka. Tidak. Karena satu bangsa, dan matang jadi bangsa butuh proses. Perlu wilayah, perlu bahasa yang sama. Kami melihat perjuangan bangsa Papua semakin terlihat spiritualitasnya, karena mereka mengambil metode damai. Spiritualitas sebuah bangsa, atau kelompok, atau bangsa tercermin dari ekspresi," kata dia.
"Saya dari Sulawesi, misalnya, tidak mungkin merdeka, walaupun ada di Poso konflik berdarah, tidak akan seperti itu. Karena persoalan kebangsaan bukan kehendak satu atau dua orang, bukan diidealisir oleh seorang pemimpin, itu tumbuh dari rakyatnya sendiri," tutur dia.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...