Sutradara Film “Shape of Water”: Tiada Hari Tanpa Cemas
SATUHARAPAN.COM – Film Shape of Water, yang mengisahkan gadis bisu jatuh cinta kepada makhluk air misterius, sedang menuai banyak pujian. Termasuk untuk Guillermo del Toro, sutradaranya. Film romansa gothic itu, berhasil meraih 13 nominasi Academy Award tahun ini, termasuk untuk kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik.
Namun, di balik membanjirnya pujian itu, Del Toro, sutradara asal Meksiko berusia 53 tahun, mengaku bahwa timnya harus jungkir-balik memeras otak selama pembuatan film, karena mengalami kondisi kehabisan uang. “Setiap hari,” katanya.
Dalam sebuah wawancara, sutradara yang telah menelurkan film-film laris, seperti Hellboy (2004), The Hobbit: An Unexpected Journey (2012), Pacific Rim (2013), Kung Fu Panda 3 (2016) ini, mengungkapkan, “Sepanjang pengambilan gambar terus dihantui rasa cemas.”
“Secara nalar, secara artistik, memang hebat. Para aktor, kamera, proses pengambilan gambar dan pendukungnya, semuanya baik. Tetapi, setiap hari kami kehabisan waktu, kehabisan uang,” katanya, seperti dikutip femalefirst.co.uk.
Ia dan timnya selalu berusaha semaksimal mungkin berkarya dengan apa yang ada. Tanpa cadangan. Bahkan tak mampu memilikinya pada saat kondisi menuntut seharusnya ada cadangan, supaya kalau salah satu properti rusak karena tuntutan adegan, masih ada cadangan. Anggaran yang terbatas membuat Del Toro harus memutar otak mengatasinya, di antaranya dengan teknik pengambilan gambar yang lebih efisien.
Politis, Mengangkat Berbagai Isu Penting
Film baru ini berkisah tentang si gadis bisu Elisa (diperankan Sally Hawkins), yang bekerja sebagai tenaga kebersihan di laboratorium ruang angkasa dengan keamanan tinggi pada tahun 1962.
Hidupnya berubah saat dia jatuh cinta kepada makhluk misterius yang ditangkap di Amerika Selatan dan tinggal di tangki air, yang sedang diteliti para ahli.
Dia segera menyadari, nasib dan kelangsungan hidup makhluk hidup tersebut terletak di tangan agen-agen pemerintah yang saling bertentangan dan ahli biologi kelautan.
Del Toro, sutradara kelahiran Guadalajara, Meksiko, yang memiliki nama lengkap Guillermo del Toro Gomez, menyebut film yang berlatar belakang dekade 60 ini sebagai “merayakan ketidaksempurnaan, merayakan liyan”, “Jatuh cinta kepada yang lain.”
“Ini bukan toleransi seperti karena perasaan cinta, tapi ini film yang sangat humanistik, sangat menguatkan, yang biasanya tidak saya lakukan. Saya tidak bisasa membuat film yang mendukung kehidupan.”
Nicholas Barber dari BBC Culture menuliskan The Shape of Water bukan hanya kisah cinta antarspesies. Film ini ia sebut sangat “politis”, bagai militan yang mengangkat berbagai isu yang kini penting.
Film ini punya banyak karakter, termasuk orang kulit hitam dan gay, yang tadinya tidak punya afiliasi politik, namun sontak berubah pandangannya ketika melihat langsung sepasang orang kulit hitam diusir dari sebuah restoran karena warna kulit mereka. Bahkan dia pun diusir karena gay.
Bahkan Barber memberi catatan sepotong adegan sangat relevan dengan gerakan #MeToo yang memerangi tindak pelecehan. Aksi ini sedang jadi buah bibir setelah kasus Harvey Weinstein, pemilik perusahaan perfilman yang terlibat dalam kasus pelecehan, menyeruak ke permukaan.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...