Tak Gentar Lawan Diskriminasi, Zulfa Akhirnya Naik Kelas
SEMARANG, SATUHARAPAN.COM – Wali Kota Semarang, Hendar Prihadi, mengembalikan hak naik kelas Zulfa Nur Rahman berdasar prestasi yang bersangkutan, dan diberi kekhususan perubahan pada mata pelajaran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebelumnya, Zulfa sempat tidak naik kelas karena nilai pelajaran agama dalam rapornya D atau urang. Ia menolak praktik salat dalam mata pelajaran agama Islam karena ia merupakan penghayat aliran Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
"Dengan masuknya kembali Zulfa ke sekolah dan bisa duduk di kelas III, membuktikan bahwa kita bisa membangun optimisme lebih besar ke depan dalam merefleksi kejujuran kita berbangsa. Bahwa masih ada realitas kebijakan yang diskriminatif- inkonstitusional yang berdampak menjadikan sekolompok masyarakat menjadi korban, sehingga perlu ada upaya kongkrit pemerintahan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk menghapus kebijakan diskriminatif dan mengganti/merevisi menjadi lebih baik. Sehingga otomatis akan membuat pemerintahan yang lebih baik dalam pelayanan publik," kata Nia Sjarifuddin, koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), kepada satuharapan.com, menanggapi dipulihkannya hak Zulfa.
Nia adalah salah satu dari sejumlah perwakilan kelompok masyarakat yang melakukan advokasi terhadap Zulfa.
Dipulihkannya hak Zulfa setelah pada hari Selasa (30/8) Komunitas Penganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang melakukan audiensi dengan Hendar Prihadi yang dihadiri perwakilan dari sekolah tempat Zulfa bersekolah, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Semarang, Dinas Pendidikan Kota Semarang dan Kementerian Agama Kota Semarang.
Zulfa mengenakan baju lurik berangkat ke sekolah pada hari pertama setelah ia dinyatakan dipulihkan haknya untuk naik kelas (Foto: Ist)
“Dalam pertemuan tersebut, Wali Kota Semarang mengembalikan hak naik kelas Zulfa berdasar prestasi yang bersangkutan, dimana diberi kekhususan perubahan pada mata pelajaran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal untuk keperluan atau kepentingan ini, difasilitasi secara penuh oleh Pemerintah Kota Semarang bekerja sama dengan Gerakan Kemerdekaan Berketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu pada Rabu (31/8) Zulfa mulai bersekolah kembali,” kata Margono dalam siaran pers yang diterima oleh satuharapan.com.
Siaran pers itu mewakili 12 kelompok yang selama ini melakukan advokasi terhadap Zulfa, yakni Komunitas Penganut Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, Himpunan Ber-KTP Kepercayaan(HBK), Adat Karuhun Urang (AKUR), Sunda Wiwitan, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika(ANBTI), LBH APIK Semarang, ELSA Semarang, LBH Semarang, Masyarakat Dialog Antar Agama(MADIA) Jakarta, Kejawen Maneges, Paguyuban Kaweruh, Jawa Jawata, Perguruan Trijaya, dan Patuladhan Jiwo Jowo.
Menurut Margono, Gerakan Kemerdekaan Berketuhanan Yang Maha Esa mendukung sikap Wali Kota Semarang yang memenuhi hak konstitusi dan hak asasi anak untuk berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam ideologi Pancasila dan Konstitusi negara/UUD 1945.
“Keputusan tersebut merupakan langkah maju dalam mengedukasi masyarakat mengenai hak dasar warga negara untuk berkeyakinan dan hak pendidikan warga negara Indonesia dimanapun dia berada,” dia menambahkan.
Dia mengatakan penting saat ini untuk memberi kesempatan kepada Zulfa naik kelas dan mengikuti pelajaran di jenjang yang lebih tinggi.
Berkaca dari keberhasilan Zulfa naik kelas, menurut dia, merupakan langkah maju seorang pemimpin daerah yang tegas dan menjadi bukti kehadiran negara dalam memenuhi hak dasar warganegara berkeyakinan dan hak pendidikan warga negara Indonesia dimanapun dia berada.
Kasus Zulfa, kata dia, merupakan refleksi dihapuskannya semua kebijakan yang bernuansa diskriminasi.
Beberapa waktu lalu, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Sjarifudin, menjelaskan Zulfa Nur Rahman memilih dirinya tidak naik kelas ketimbang terpaksa praktik salat dalam mata pelajaran Agama Islam.
Menurut Nia, Zulfa adalah seorang anak pengikut penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Status Zulfa pada kolom agama dalam Kartu Keluarga diisi kosong (-). Ayahnya bernama Taswidi dan ibunya Susilowati.
Pada Juli 2016 lalu Zulfa tidak naik kelas karena nilai pendidikan agama mendapat D (kurang). Kurikulum di sekolah negeri itu hanya memfasilitasi enam agama, tanpa mengakomodasi aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Nia menilai pemerintah diskriminatif terhadap hak-hak para penghayat kepercayaan. Kasus Zulfa merupakan salah bukti Pancasila dan Konstitusi Negara tidak menjamin para penghayat kepercayaan.
Editor : Eben E. Siadari
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...