Tak Hanya Sekretaris MA, KPK Juga Cekal Petinggi Grup Lippo
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencekalan terhadap Eddy Sindoro, petinggi grup Lippo, terkait pengembangan kasus suap terhadap Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Eddy Nasution.
“KPK telah mengirimkan permohonan cekal atas nama Eddy Sindoro per tanggal 28 April untuk enam bulan ke ke depan,” ujar Yuyuk Andriati Iskak, pelaksana harian Kabiro Humas KPK, hari Selasa (3/5), saat dikonfirmasi satuharapan.com melalui pesan pendek.
Alasan pencekalan, dikatakan oleh Yuyuk, karena sewaktu-waktu apabila dibutuhkan keterangan, yang bersangkutan tidak sedang berada di luar negeri.
KPK melihat adanya dugaan keterlibatan Sindoro dalam kasus ini. “Ada dugaan keterlibatan, makanya kita meminta cekal, dan selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terkait kasus ini dan keterangan bagaimana keterlibatan dia,” kata Yuyuk.
Ketika ditanyakan apakah Sindoro merupakan sumber pemberi uang, Yuyuk meminta untuk menunggu informasi resmi berdasarkan hasil pemeriksaan. “Sampai sekarang belum diperiksa, jadi tunggu saja, ikuti dulu prosesnya,” katanya.
Pihak KPK juga telah mengecek keberadaan Sindoro.
“Tentunya yang bersangkutan sudah dicek oleh penyidik, dan saat ini yang bersangkutan berada di Indonesia,” tutur Yuyuk.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Sindoro saat ini tengah menjabat sebagai Chairman PT Paramount Enterprise International, anak perusahaan grup Lippo. Ia juga diketahui masih menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Lippo Land Development Tbk dan Presiden Direktur PT Siloam Health Care Tbk.
PT Paramount Enterprise International sebelumnya telah digeledah tim penyidik KPK usai melakukan operasi tangkap tangan pada hari Rabu (20/4) lalu. Eddy dan seorang perantara bernama Doddy Aryanto Supeno diciduk tim satgas KPK saat itu. Dalam prospektus tahun 2004, Doddy tercatat sebagai Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga, anak perusahaan grup Lippo.
Sebelum mencekal Eddy, KPK terlebih dahulu telah mencekal Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Penyidik juga menduga Nurhadi terlibat dalam kasus suap ini.
Selain di kantor PT Paramount Enterprise International di Gading Serpong Boulevard, tim penyidik KPK juga telah menggeledah kantor PN Jakpus; rumah Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, di Jalan Hang Lekir; Jakarta Selatan, dan ruang kantor Nurhadi. Dari kediaman Nurhadi, KPK menyita uang sekitar Rp 1,7 miliar.
Dari tangan Eddy, KPK menyita uang sebesar Rp 50 juta. Namun, telah ada pemberian sebelumnya sebesar Rp 100 juta yang diserahkan pada bulan Desember 2015 dengan commitment fee sebesar Rp 500 juta.
Edy disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001, juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Doddy disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001, juncto Pasal 64 KUHPidana, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Editor : Bayu Probo
Kemampuan Menyusun Kata Perlu Diajarkan Sejak PAUD
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Kementerian Kependudukan dan Pemba...