Tampoi, Buah Langka Hutan Tropis Kalimantan
SATUHARAPAN.COM – Kawasan hutan tropis terutama Pulau Kalimantan, dikenal sebagai surga buah-buahan. Kalimantan memiliki berbagai jenis buah-buahan yang tidak dimiliki daerah subtropik, seperti durian, kopi, pisang, manggis, tampoi, dan berbagai jenis buah lain.
Tampoi adalah salah satu jenis buah-buahan yang banyak dikenal masyarakat sekitar hutan Kalimantan Barat. Tampoi atau tampui (Baccaurea macrocarpa), mempunyai hubungan kerabat dengan buah menteng dan rambai, tapi dengan ukuran lebih besar. Di Inggris, buah ini disebut greater tampoi. Berat buah ini sekitar 130 gram, dengan diameter sekitar 6 cm.
Buah tampoi, mengutip dari biodiversitywarriors.org, memiliki rasa manis dan asam. Buah hutan ini hanya dapat dijumpai pada bulan-bulan tertentu, dan sangat sulit dicari karena buah ini belum dibudidayakan masyarakat. Buah ini dipetik dari hutan dan dijual di pasar, selain itu juga dikonsumsi sendiri tentunya.
Buah tampoi terangkai dalam tandan panjang hingga 15 cm, dengan tangkai setebal 4-6 mm. Bentuknya bulat atau hampir bulat, berdinding tebal mengayu, cokelat hingga kelabu di bagian luar. Berbiji 3–6 butir, dan tertutup oleh “salut biji” berwarna putih hingga kuning, kadang-kadang jingga.
Pohon tampoi, mengutip dari menlhk.go.id, merupakan endemik hutan tropis seperti hutan hujan tropis di Sumatera dan Kalimantan. Buahnya enak dimakan, rasanya mirip-mirip buah rambutan namun daging lebih tebal dari rambutan.
Kini, pohon tampoi sudah jarang ditemukan. Pohon tampoi langka ditemukan saat ini disebabkan perambahan hutan. Okupasi lahan menjadi kebun sawit menghilangkan tanaman eksotis ini. Apalagi sejak dulu sampai sekarang belum ada yang tertarik membudidayakannya. Akibatnya pohon tampoi terancam punah dan terlupakan.
Pemerian Botani Pohon Tampoi
Pohon tampoi, menurut Wikipedia, tingginya mencapai 27 m. Batang tampoi kerap beralur-alur dalam hingga setinggi 5 m. Kadang-kadang berbanir kecil dan rendah.
Daun-daun tersebar, helaian daun jorong hingga bundar telur atau bundar telur sungsang, bertangkai panjang hingga 14,5 cm. Perbungaan kebanyakan muncul pada cabang atau pada batang, tandan bunga jantan panjang hingga 13 cm, yang betina hingga 18 cm, bercabang-cabang. Bunga-bunga berukuran kecil, berwarna hijau, kuning, atau putih.
Buah-buah terangkai dalam tandan panjang hingga 15 cm, dengan tangkai setebal 4-6 mm. Berbentuk bulat atau hampir bulat, buah tampoi merupakan buah kotak berdinding tebal mengayu, cokelat hingga kelabu di bagian luar. Berbiji (2–) 3–6 butir, yang tertutup oleh salut biji berwarna putih hingga kuning, kadang-kadang jingga.
Buahnya yang manis-manis asam menyegarkan digemari orang dan dijual di pasar-pasar lokal. Kayunya kuat dan awet, sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Tampoi menyebar di Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Kalimantan. Ditemukan tumbuh hingga ketinggian 1.600 meter di bawah permukaan laut. Tumbuhan ini hidup liar di hutan-hutan dataran rendah, hutan riparian, hutan rawa, dan juga hutan sekunder, di atas tanah-tanah liat merah atau liat berpasir. Tampoi juga banyak ditanam di wanatani, bercampur dengan aneka tanaman buah dan tanaman kayu lainnya.
Tampoi (Baccaurea macrocarpa), menurut Wikipedia adalah anggota suku Phyllanthaceae (dulu: Euphorbiaceae). Buah ini masih sekerabat dengan menteng dan rambai, tetapi berukuran lebih besar dan berkulit lebih tebal.
Tampoi juga dikenal dengan nama lokal lain seperti di Malaysia merkeh (Kelantan), ngeke, lara, rambai, tampoi batang, tampoi, tampui. Di Sumatera, buah ini dikenal dengan nama tampui daun, tampui bulan, tampui benar, tampoi saya. Di Bangka, dikenal dengan nama medang, tampui. Di Kalimantan, dikenal dengan berbagai nama, seperti pasin, pegak (Dayak Tunjung), puak, tampoi (Iban), setai (Kenyah), jentikan (Kutai), tampoi (Kedayan), buah setei, empak kapur, kapul, terai.
Manfaat Herbal Pohon Tampoi
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, ekstrak metanol buah tampoi, mengutip dari unmul.ac.id, mengandung metabolit sekunder berupa saponin, flavonoid, dan alkaloid. Ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan.
Ekstrak metanol dan fraksi-fraksi kulit buah Baccaurea macrocarpa bersifat antibakteri yang berspektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri dari kelompok bakteri gram positif dan Escherichia coli yang merupakan bakteri dari kelompok bakteri gram negatif.
Beberapa penelitian memaparkan kandungan nutrisi satu buah tampoi, mengutip dari bptp-kaltim@litbang.pertanian.go.id, terdiri atas serat 2,2 persen, lemak 1,1 persen, abu 0,9 persen, karbohidrat 34,6 persen, protein 1,5 persen, kadar air 61,9 persen, Vitamin C 1,5 persen, serta mengandung senyawa kimia golongan saponin, alkaloid, dan flavonoid aktif.
Tampoi, bagian dari genus Baccaurea, mengutip dari ipb.ac.id, adalah salah satu anggota dari famili Phyllanthaceae, yang merupakan genus cukup besar dengan anggota mencapai 43 spesies. Pada pengobatan tradisional genus Baccaurea telah dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati sembelit, pembengkakan pada mata, radang sendi, abses, sakit perut, memperlancar haid, serta buang air kecil.
Beberapa anggota genus Baccaurea memiliki potensi sebagai tumbuhan obat karena mengandung metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, karotenoid, antosianin, tanin, asam rosmarinik, dan fenolik. Kandungan metabolit sekunder tersebut berpotensi sebagai antioksidan, antikanker, antimikroba, antidiabetes, antiinflamasi, antitripanosoma.
Renos Yunus dan kawan-kawan dari Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, meneliti uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah tampoi (Baccaurea macrocarpa) terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Penelitian itu dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan golongan senyawa metabolit sekunder kulit buah tampoi dan menguji aktivitas antibakterinya terhadap bakteri E coli dan S aureus.
Renos Yunus dan kawan-kawan menyimpulkan kulit buah tampoi positif mengandung golongan senyawa alkaloid, polifenol dan flavonoid. Uji aktivitas antibakteri kulit buah tampoi fraksi etil asetat memiliki daya hambat antibakteri paling tinggi terhadap pertumbuhan S aureus dan E coli.
Diastri Wahyu Rahmah dan kawan-kawan dari Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, meneliti uji toksisitas dengan metode BSLT ekstrak kasar kulit batang tampoi.
Secara tradisional daun dan kulit batang tampoi digunakan sebagai bahan obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat toksisitas dari ekstrak kulit batang tampoi. Hasil uji toksisitas ekstrak kasar termasuk kategori tidak beracun.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...