Tangis Kekasih Pemred Charlie Hebdo Dilarang Hadiri Pemakaman
PARIS, SATUHARAPAN.COM - Jeanette Bougrab, kekasih Pemimpin Redaksi Mingguan Charlie Hebdo, tidak akan menghadiri pemakaman kekasihnya itu, yang pada Rabu, 7 Januari lalu, terbunuh bersama 11 orang lainnya dalam sebuah serangan mematikan ke kantor majalah tempatnya bekerja, dan telah dikutuk oleh seluruh dunia.
Keputusannya tersebut diambil setelah keluarga Stephana Charbonnier, kekasihnya, melarangnya untuk datang. Keluarga juga membantah dengan keras bahwa keduanya memiliki hubungan istimewa. Keluarga Charb, sapaan akrab Stephana Charbonnier, meminta Jeanette berhenti berbicara atas nama Charb.
Larent, saudara Charb, melansir sebuah pernyataan atas nama keluarga pada hari Sabtu lalu, menyusul serangkaian wawancara emosional yang diberikan oleh Jeanette, seorang putri imigran Aljazair yang pernah menjabat menteri di kabinet Nicolas Sarkozy.
Daily Mail melaporkan, Jeanette, ibu dari seorang putri angkat, mengaku sedih atas penolakan keluarga Charb. Padahal, kata dia, pada pagi ketika kekasihnya terbunuh, ia masih bersama dengan orang tua Charb berada di Institute Forensic untuk melihat jenazah.
"Tetapi sekarang saya menerima untuk menarik diri dan saya tidak akan pergi ke pemakamannya. Saya tidak cukup kuat berjuang untuk itu. Saya terluka dan kalah."
Meskipun demikian, Jeanette tidak menyerah.
"Mereka tidak bisa melenyapkan perjuangan saya membela sekularisme," tutur dia.
Dengan marah, Jeanette menuduh keluarga kekasihnya telah merampas haknya untuk bertemu terakhir kali dengan sang pujaan hati.
"Dengan berbuat demikian, mereka membunuhnya untuk kedua kalinya," tutur dia.
Sebelumnya, Jeanette dalam wawancara telepon dengan Paris Match, mengakui hubungannya dengan Charb mungkin konyol di mata sebagian orang. "Kami berdua saling mengasihi karena kami sama-sama pribadi yang independen," tutur dia.
"Kami tidak melansir siaran pers tentang hubungan kami berdua, tetapi kami tidak menyembunyikannya. Dia telah bertemu dengan ibu saya, dan putri saya memanggilnya ayah," kata dia. Sejumlah teman-temannya mendukung klaimnya itu.
Jeanette, 41 tahun, segera menarik perhatian media setelah terjadinya tragedi Charlie Hebdo yang memilukan. Ia memberikan serangkaian wawancara televisi dengan berurai air mata.
"Kekasih saya terbunuh karena menerbitkan surat kabar," kata dia.
"Dia tidak pernah mau memiliki anak karena dia tahu dia akan mati. Dia hidup tanpa takut tetapi dia tahu dia akan mati."
Jeanette yang pernah menjabat Menteri Pemuda dan Hidup Kemasyarakatan di masa pemerintahan Nicolas Sarcozy itu menjelaskan kepada stasiun televisi Prancis, BMFTV, saat-saat terakhir saat ia mendengar berita kematian kekasihnya. Ketika itu ia sedang rapat dan kemudian diberitahu ada penembakan.
"Saya meng-SMS dia sekali, dua kali dan tiga kami. Kemudian saya menelepon dia dan dia tidak menawabnya. Dan dia tidak akan pernah menjawabnya lagi."
"Ketika saya tiba di sana, ada penjagaan. Kami tidak diizinkan masuk. Di situ saya menyadari dia telah meninggal."
Menurut Jeanette, dia bangga bahwa kekasihnya meninggal untuk mempertahankan prinsipnya.
"Dia memperjuangkan sekularisme. Dia memperjuangkan semangat Voltaire. Dia, pada kenyataannya, buah dari ide Republik sesungguhnya yang hampir terlupakan," kata dia.
Jeanette adalah anggota Dewan Negara Nasional Prancis (French Natonal Council of State) dan digambarkan sebagai pembela sekulerisme garis keras. Ia juga kritikus agama, terutama agama Islam.
"Saya telah kehilangan kekasih, kehilangan sebagian dari saya," kata dia.
Ketika dia ditanya apakah merasa terhibur oleh seluruh dunia yang telah mengadopsi simbol 'Je Suis Charlie' sebagai simbol kemenangan dan harapan, Jeanette menjawab dengan tegas, "Sama sekali tidak, karena dia sudah mati. Benar-benar bukan kemenangan. Ini kekalahan. Ini adalah tragedi bagi negara kita dan saya menolak untuk bersukacita dalam gagasan berdemonstrasi di jalan-jalan, karena mereka telah menghancurkan makhluk mulia yang menemani saya dalam hidup. "
Satu keinginannya saat ini adalah melihat semua kartunis yang dibunuh itu dimakamkan di Parthenon, di mana Voltaire dan Jean-Jacques Rousseau juga dimakamkan.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...