Tarana Burke, Sosok di Balik Gerakan #MeToo
SATUHARAPAN.COM – Majalah Time menobatkan para perempuan di belakang gerakan #MeToo sebagai Tokoh Tahun ini. Time menjuluki mereka sebagai “The Silence Breakers”.
#MeToo, gerakan antipelecehan tersebut diklaim telah berhasil membuat jutaan orang mengungkapkan kekerasan dan pelecehan yang pernah mereka alami. Tak terkecuali para aktris ternama seperti Angelina Jolie, Gwyneth Paltrow, Pamela Anderson, hingga Lady Gaga, mengungkapkan pengakuan.
Pengumuman penobatan #MeToo sebagai Tokoh Tahun Ini disiarkan di salah satu acara NBC, saluran televisi Amerika, pada Rabu (6/12/17) pagi. Gerakan #MeToo, seperti dilaporkan dw.de, bahkan mengalahkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, yang menempati urutan kedua dan ketiga dalam Tokoh Tahun ini yang dirilis Time.
Gerakan sosial tersebut dimulai secara spontan pada Oktober lalu saat aktris yang juga aktivis perempuan, Alyssa Milano, mengikuti sebuah saran dari seorang teman di Facebook untuk mencuit: “Bila Anda pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, tulislah `me too´ sebagai balasan atas tweet ini.”
Responsnya sangat mengejutkan. Dalam waktu 48 jam hashtag tersebut sudah dicuitkan hampir satu juta kali oleh warganet.
Sebetulnya, gerakan #MeToo sendiri telah dipopulerkan di Twitter satu dekade lalu oleh aktivis perempuan Tarana Burke, untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual.
Siapa Tarana Burke?
Pada 1997, Tarana Burke duduk di seberang anak perempuan berusia 13 tahun, korban pelecehan seksual. Pelakunya, pacar ibu si gadis cilik itu. Ia menceritakan apa yang telah ia alami. Burke hanya mampu terdiam mendengarnya. Tak mampu berkata sepatah kata pun. Menurut pengakuan Burke, dalam wawancara dengan New York Times, saat itulah gerakan “Me Too” lahir.
“Saya tidak mampu menanggapinya, apa lagi membantunya, saat itu. Saya bahkan tidak mampu sekadar mengatakan ‘me too’,” kata Burke, dalam wawancara dengan New York Times.
“Hanya saja, peristiwa itu terus mengganggu saya, mengusik semangat saya. Cukup lama,” ia menambahkan.
Sepuluh tahun sesudah perjumpaan itu, Burke mendirikan Just Be Inc., organisasi swadaya yang membantu korban kekerasan dan penyerangan seksual. Ia menyisir nara sumber, yang tentu tidak mudah segera ia jumpai dalam rentang waktu sepuluh tahun, dan berkomitmen mendampingi korban kekerasan.
Ia memberi nama gerakan itu “Me Too”.
Dua kata tersebut akhirnya menjadi sorotan media sosial, #metoo, hashtag yang dipromosikan oleh aktris Alyssa Milano. Di tengah pengakuan yang membanjir dan menimbulkan reaksi yang sangat mengusik, beberapa wanita kulit berwarna mengingatkan dan menyoroti secara tajam bahwa Tarana Burke, yang berkulit hitam, telah memulai gerakan itu lama sebelumnya, dan mempertanyakan mengapa perjuangan Burke tak kunjung mendapatkan dukungan dari feminis kulit putih terkemuka selama ini.
Alyssa Milano berusaha memberikan kesempatan bersuara kepada korban pelecehan seksual, setelah muncul tuduhan pelecehan dan penyerangan seksual yang dilakukan produser film Hollywood kenamaan Harvey Weinstein kepada beberapa aktris. Respons datang sangat mengejutkan.
Respons yang sangat luar biasa itu atas twee Milano itu, diakui Tarana Burke, sempat membuatnya khawatir.
“Awalnya saya panik,” katanya, “Lalu khawatir dan ketakutan, karena sesuatu yang merupakan bagian dari pekerjaan saya, akan dikooptasi, diambil dari saya, dan digunakan untuk tujuan yang pada awalnya tidak saya inginkan.”
Tetapi Alyssa Milano, yang mengaku tidak menyadari sebelumnya kampanye yang sudah lama dilakukan Burke, segera berusaha memperbaiki kesalahannya.
Ia mengulurkan tangan kepada Burke dua hari setelah mengirimkan tweet #metoo, dan berharap bisa berkolaborasi.
“Dia sangat bersyukur dan ramah,” kata Burke.
Pada hari Kamis, Milano melanjutkan kampanye di acara "Good Morning America", dan secara terbuka memuji Tarana Burke atas kampanye Me Too-nya.
“Kampanye Me Too dan apa yang Tarana Burke lakukan, benar-benar memungkinkan kami memusatkan perhatian pada korban,” kata Alyssa Milano dalam sebuah wawancara.
Menguatkan suara korban selalu menjadi tujuan Tarana Burke. Meskipun banyak kekurangan, Burke meyakini kampanye Me Too akan lebih berdaya daripada kalau hanya dilakukan satu orang.
“Saya hanya akan memikirkan diri sendiri, egois, jika membingkai ‘Me Too’ sebagai sesuatu yang saya miliki,” katanya. “Ini jauh lebih besar daripada saya dan lebih besar daripada Alyssa Milano. Tak satu pun dari kami harus menjadi pusat perhatian dari pekerjaan ini. Ini lebih bicara tentang penanganan korban selamat.”
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...