Tarif Inap Barang di Pelabuhan Bukan Otoritas Bea Cukai
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pelaksana tugas Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai, Supraptono, mengatakan penetapan tarif progresif bagi biaya inap barang di pelabuhan bukanlah otoritas Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Pasalnya, tarif yang murah diduga menjadi penyebab lamanya dwelling time.
Dwelling time merupakan waktu lamanya barang impor atau peti kemas ditimbun di tempat penimbunan sementara (TPS) di pelabuhan sejak keluar dari kapal hingga keluar dari TPS.
Kepala Kantor Pelayanan Umum (KPU) Tanjung Priok, Fadjar Donny, menjelaskan, adanya pelaku importir yang senang menimbun barangnya di pelabuhan melatarbelakangi usulan pemberlakukan tarif progesif ini.
“Kalau melihat data, banyak barang yang masih ditimbun walaupun surat persetujuan pengeluaran barang atau customs approval sudah dikeluarkan,” kata Donny, di Jakarta, Selasa (23/6).
Salah satu cara yang bisa dilakukan, ia melanjutkan, adalah segera menerapakan tarif progresif sebab banyak perusahaan yang tidak memiliki gudang dan tingkat keamanan pelabuhan lebih aman daripada di laur sehingga importir lebih memilih menimbun barangnya di TPS pelabuhan.
Selama ini, Supraptono menjelaskan, tarif inap barang yang berlaku merupakan tarif flat per hari. Ia mengaku, ongkos menimbun barang di pelabuhan masih lebih murah daripada ditimbun di luar.
Akan tetapi, Supraptono menjelaskan, DJBC tidak memiliki kewenangan atas biaya inap barang. Yang bertugas menghitung tarif tersebut adalah otoritas pelabuhan.
Ia juga mengaku, DJBC tidak bisa mengusulkan tarif progresif untuk biaya inap barang sebab pihaknya tidak mengetahui aspek-aspek penghitungan angka tersebut. DJBC memiliki otoritas hanya sampai pada custom clearance. Biaya inap barang merupakan domain post custom clearance.
Namun, pihaknya berharap adanya peraturan baru tarif progresif itu bisa mempercepat dwelling time sehingga importir menimbun barangnya di luar pelabuhan.
Dwelling time menjadi perhatian khusus bagi Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (17/6).
Presiden Jokowi menginginkan pelabuhan lebih cepat, lebih efisien dalam memberikan pelayanan, baik terhadap importir maupun eksportir. Presiden kecewa mendengar jawaban saat mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok bahwa dwelling time masih ada yang tiga hari, 20 hari, bahkan sampai 25 hari.
Supraptono menjelaskan, saat kunjungan Presiden tersebut, rata-rata angka dwelling time sebesar 5,5 hari, padahal target yang ditetapkan sebesar 4,7 hari.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...