Teka-Teki Nasib Janda dan Anak Anggota ISIS di Suriah
Mereka ditolak oleh komunitas, karena suami/ayah bergabung dengan ISIS yang telah melakukan kekejaman.
RAQQA, SURIAH, SATUHARAPAN.COM - Marwa Ahmad jarang meninggalkan rumahnya yang bobrok di kota Raqqa, Suriah. Ibu tunggal bagti empat anak ini mengatakan orang-orang memandangnya dengan curiga dan menolak menawarkan pekerjaan, sementara anak-anaknya diintimidasi dan dipukuli di sekolah.
Dia dan anak-anaknya membayar harganya, katanya, karena dia pernah menjadi anggota kelompok Negara Islam (IS atau ISIS), yang menguasai wilayah Suriah dan Irak pada tahun 2014 dan memberlakukan aturan radikal dan brutal selama bertahun-tahun.
Ahmad termasuk di antara puluhan ribu janda dan istri militan ISIS yang ditahan di kamp al-Hol yang buruk dan tanpa hukum di timur laut Suriah, setelah koalisi pimpinan Amerika Serikat dan pasukan Kurdi Suriah membersihkan ISIS dari wilayah tersebut pada tahun 2019.
Dia dan semakin banyak keluarga sejak itu diizinkan pergi, setelah otoritas Kurdi yang mengawasi kamp tersebut memutuskan bahwa mereka tidak lagi berafiliasi dengan kelompok militan dan tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat. Tetapi kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya untuk berintegrasi kembali di Suriah dan Irak menunjukkan kebencian yang dalam dan pahit yang tersisa setelah kekejaman yang dilakukan oleh ISIS dan kehancuran dari perang panjang yang menjatuhkan para militan.
Ketakutan dan Kebencian pada ISIS
Masih ada ketakutan terhadap sel-sel tidur ISIS yang terus melakukan serangan. Militan ISIS di Raqqa pada hari Senin menyerang dan membunuh enam anggota pasukan keamanan pimpinan Kurdi, yang dikenal sebagai Pasukan Demokrat Suriah (SDF). Serangan itu terjadi menyusul gelombang serangan SDF dan AS yang menargetkan militan ISIS di Suriah timur.
Di dekat rumah Ahmad, sebuah slogan ISIS, “Kekhalifahan Islam akan datang, insya Allah,” terukir di dinding sebuah bangunan bobrok.
Itu adalah ideologi yang pernah diyakini Ahmad. Dia mengatakan dia dan saudara perempuannya bergabung dengan ISIS setelah saudara laki-laki mereka, seorang anggota ISIS, terbunuh dalam serangan udara AS pada tahun 2014.
Dia menikah dengan anggota kelompok tersebut, meskipun dia mengatakan dia adalah seorang perawat, bukan pejuang. Dia ditahan sejak tahun 2019.
Ahmed mengatakan dia sekarang menolak ISIS. Namun komunitasnya tidak percaya itu, dan dia mengklaim itu, karena dia mengenakan cadar niqab konservatif yang menutupi sebagian besar wajahnya.
“Sekarang, saya harus menghadapi orang-orang, dan banyak orang di masyarakat ini telah disakiti oleh (ISIS),” kata Ahmad. “Tentu saja, bukan hanya organisasi yang melakukannya. Kami, orang-orang yang tinggal di Suriah, telah disakiti oleh Tentara Pembebasan Suriah, rezim, dan ISIS, bukan? Tapi mereka tidak mengatakan itu.”
Dia mengatakan toko roti tetangga terkadang menolak memberikan rotinya. Bahkan ayahnya sendiri, yang tidak menyetujui dia bergabung dengan kelompok ekstremis, mengancam pemilik toko yang mempekerjakannya bahwa dia akan menuduhnya berkomunikasi dengan ISIS jika dia tidak memecatnya.
Teka-teki Nasib 50.000 Perempuan dan Anak ISIS
Setelah ISIS menyerbu Raqqa, sebagian besar Suriah utara dan timur, serta Irak barat pada 2014, kelompok itu mendeklarasikan apa yang disebut kekhalifahan Islam atas wilayah tersebut. Ribuan orang datang dari seluruh dunia untuk bergabung. Raqqa menjadi ibu kota de facto “Khilafah”.
Otoritas pimpinan Kurdi yang didukung AS berjuang selama bertahun-tahun untuk memukul mundur ISIS. Akhirnya pada Maret 2019, mereka merebut bagian terakhir dari wilayah yang dikuasai ISIS di Suriah, desa kecil Bahgouz. Suami Ahmed ditangkap oleh SDF di Bahgouz, dan Ahmed serta anak-anaknya dikirim ke kamp al-Hol.
Sejak saat itu, apa yang harus dilakukan dengan para perempuan dan anak-anak di al-Hol menjadi teka-teki bagi otoritas pimpinan Kurdi. Sebagian besar perempuan adalah istri dan janda pejuang ISIS. Ribuan warga Suriah dan Irak telah dibebaskan dan dipulangkan, serta sejumlah orang asing.
Masih sekitar 50.000 warga Suriah dan Irak, setengah dari mereka adalah anak-anak, tetap berdesakan di tenda-tenda di kamp berpagar di hamparan gurun tandus. Beberapa ribu orang asing dari puluhan negara juga tetap tinggal.
Kondisinya sangat buruk. Pihak berwenang dan aktivis yang dipimpin Kurdi menyalahkan sel-sel tidur ISIS atas gelombang kekerasan di dalam kamp, termasuk pemenggalan kepala dua gadis Mesir, berusia 11 dan 13 tahun, pada bulan November. Ahmad mengatakan kehidupan di al-Hol mirip dengan kehidupan di bawah ISIS, “kecuali Anda dipagari.”
Militan bersenjata yang berafiliasi dengan ISIS masih menguasai sebagian besar kamp, kata Human Rights Watch dalam laporan baru-baru ini, mengutip otoritas kamp.
Komando Pusat AS mengatakan telah melakukan 313 serangan yang menargetkan militan ISIS di Suriah dan Irak selama setahun terakhir, menahan 215 dan membunuh 466 militan di Suriah, sebagian besar serangan bekerja sama dengan SDF.
Pasukan pimpinan Kurdi mengumumkan Kamis, mengutip lonjakan serangan ISIS, bahwa mereka meluncurkan kampanye militer baru melawan kelompok ekstremis, yang dijuluki "Operasi Al-Jazeera Thunderbolt," untuk menargetkan sel-sel tidur di al-Hol dan di dekatnya di Tal Hamis.
Semua Menolak Mereka
Terlepas dari semua ini, Ahlam Abdulla, seorang perempuan lain yang dibebaskan dari al-Hol, mengatakan kehidupan di kamp lebih baik daripada di kampung halamannya di Raqqa.
“Secara umum, semua orang menentang kami. Kami berjuang ke mana pun kami pergi,” katanya. Dia mengatakan suaminya bergabung dengan IS (ISIS) dan bekerja di kantor kelompok militan, sementara dia hanya mengurus rumah.
Dengan dukungan para tetua sukunya, ibu lima anak ini kembali ke Raqqa pada tahun 2020 tanpa suaminya, yang telah hilang selama empat tahun. Dia mengatakan pemerintah setempat telah mengawasi setiap gerakan mereka dengan curiga dan meminta informasi pribadi mereka.
"Kami takut," katanya. “Kalau ada yang tanya, saya bilang saja suami saya meninggal di perbatasan Turki.” Dia tidak memberi tahu siapa pun bahwa dia ada di al-Hol.
Saeed al-Borsan, seorang tetua suku al-Walda, mengatakan bahwa mengintegrasikan kembali perempuan dan anak-anak dari al-Hol merupakan tantangan besar, baik karena kurangnya kesempatan kerja maupun karena penduduk berjuang untuk menerima mereka. Tetua suku seperti al-Borsan telah berusaha membantu perempuan menemukan tempat tinggal dan mata pencaharian.
“Anak-anak terutama menghadapi kesulitan, kurangnya pendidikan, dan terputus dari masyarakat selama lima tahun,” jelasnya, duduk di sebuah ruangan bersama anggota suku lain dengan satu set tasbih di satu tangan. “Mereka adalah korban.”
Hambatan dalam Integrasi bagi Mantan Anggota ISIS
Badan amal lokal dan kelompok masyarakat sipil telah mencoba untuk membantu anak-anak tersebut kembali ke sekolah dan membantu ibu mereka meningkatkan keterampilan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
“Mereka tetap berada di bawah kekuasaan ISIS, dan banyak dari mereka relatif masih dipengaruhi oleh mereka (ISIS),” kata Helen Mohammed dari Women for Peace, sebuah organisasi masyarakat sipil yang mendukung perempuan dan anak-anak, kepada The Associated Press. “Mereka adalah korban ideologi ekstremis.”
Namun dia yakin para perempuan dapat berhasil diintegrasikan kembali dengan layanan dan dukungan yang tepat.
Abdulla mengatakan dia menghadiri beberapa lokakarya tetapi merasa prospek pekerjaannya belum membaik. Sementara itu, ia memperoleh sedikit penghasilan dengan membersihkan karpet dan rumah serta menjual acar tradisional atau makanan musiman kering, yang dikenal secara lokal sebagai “mouneh”.
Sementara itu, Ahmad ditolak dari pekerjaan lain. Dia mengatakan dia tidak mendapatkan alasan yang jelas mengapa, tetapi percaya itu karena suaminya bergabung dengan ISIS.
“Kita harus hidup dengan label ISIS di masyarakat ini,” kata Ahmad sambil membiarkan anak-anaknya keluar dari rumahnya yang remang-remang untuk bermain. “Tidak peduli seberapa keras kami berusaha untuk menjadi bagian dari komunitas ini, untuk merangkul orang-orang dan bersikap baik kepada mereka, mereka tetap memandang kami dengan cara yang sama.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...