Teknologi untuk Mengurangi Risiko Bencana Letusan Gunung Api
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gunung Sangeang di Sangeang Pulo, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, meletus akhir Mei (31/5) lalu pukul 15.55 Wita. Letusannya mengembuskan asap dan debu vulkanik setinggi 3.000 meter. Angin juga membawa asap ke arah barat hingga ke Kota Bima yang berjarak sekitar 70 kilometer.
Kepala Bidang Teknologi Akuntansi Sumber Daya Alam (Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT), Agustan, menjelaskan meletusnya sebuah gunung api sangat bergantung pada proses akumulasi energi di kantong magma (magma chamber). "Untuk Gunung Sangeang dan juga gugusan gunung lain di Jawa dan Nusa Tenggara, terkait dengan subduksi Lempeng Australia terhadap Lempeng Eurasia, sehingga terjadi pencairan batuan dan masuk ke kantong magma," ujar Agustan.
Teknologi mitigasi letusan gunung api, peringatan dini sebelum meletus, misalnya dengan pengamatan yang lengkap terhadap sebuah gunung api, menjadi hal penting.
Dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya mitigasi itu bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa teknologi. Seismologi-Geofisika dengan teknologi pengamatan seismometer dilakukan untuk memantau aktivitas bawah permukaan. Geokimia untuk memantau proses kimiawi, terutama gas sulfur dioksida (SO2) dalam identifikasi peningkatan aktivitas gunung api. Geodesi, terkait dengan pengamatan deformasi, misalnya dengan teknologi survei terestris, electronic distance measurement. "Juga Global Positioning System (GPS) atau Global Navigation Satellite System (GNSS), serta penginderaan jauh (remote sensing) untuk pengamatan deformasi untuk memantau proses deflasi inflasi dengan teknik interferometri data satelit radar (Synthetic Aperture Radar/SAR)," kata Agustan, melalui surelnya, Senin (2/6).
Terkait akuntansi sumber daya alam, jelas Agustan, letusan gunung api mempengaruhi lingkungan dan manusia, seperti penduduk dan bangunan terpapar, fasilitas umum objek vital terpapar, serta lahan pertanian peternakan terpapar.
Untuk objek vital akibat meletusnya Gunung Sangeang, tercatat ada enam bandar udara dalam jangkauan 200 kilometer yang terpapar asap dan debu vulkanik, yaitu Muhammad Salahuddin Airport dengan jarak sekitar 57,36 kilometer, Labuanbajo Airport dengan jarak sekitar 98,30 kilometer, Komodo (Mutiara II) Airport dengan jarak sekitar 98,32 kilometer, Tambolaka dengan jarak sekitar 138,05 kilometer, Satar Tacik Airport dengan jarak sekitar 164,17 kilometer, dan Sumbawa Besar Airport dengan jarak sekitar 185,90 kilometer.
Selain itu, ada delapan pelabuhan dalam jarak 200 kilometer yang terpapar, yaitu Pelabuhan Sape 43,29 kilometer, Pelabuhan Bima 48,43 kilometer, Pelabuhan Labuan Bajo 97,25 kilometer, Pelabuhan Kempo 102,02 kilometer, Pelabuhan Waikelo 135,64 kilometer, Pelabuhan Calabai 149,68 kilometer, Pelabuhan Reo 155,32 kilometer, dan Pelabuhan Badas 189,74 kilometer. Sedangkan, jumlah penduduk yang berpotensi terpapar awan panas dan debu vulkanik sekitar 3.800 orang.
Untuk mengurangi risiko akibat meletusnya gunung api, Agustan berharap agar kemampuan sensor pengamatan gunung api ditingkatkan, kemudian juga meningkatkan penguasaan metode dan interpretasi data pengamatan gunung api serta edukasi kepada masyarakat tentang bahaya gunung api dan kesadaran memelihara sensor-sensor yang berada di sekitar gunung api.
"Yang perlu diingat kita tidak bisa memitigasi letusan gunung api. Tapi, yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko akibat bencana letusan gunung api," tutup Agustan. (bppt.go.id)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...