Tentara Prancis Membelot ke NIIS
Sebagian besar dari tentara pembelot itu berlatar belakang keluarga Arab-Muslim
PARIS, SATUHARAPAN.COM - Sekitar 10 mantan tentara Prancis, diantaranya adalah anggota pasukan elit First Marine Infrantry Parachute Regiment, diketahui telah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS), bersama dengan ratusan warga Prancis radikal lainnya. Hal ini dikatakan oleh sumber-sumber di Kementerian Pertahanan, kemarin.
"Kami memperkirakan sekitar belasan mantan tentara telah bergabung dengan jaringan ini," kata sumber itu kepada AFP.
"Keprihatinan kami bukan mengenai mantan tentara ... Tetapi mencegah fenomena radikalisasi dalam pasukan kami," tambah sumber.
Menteri Pertahanan Prancis, Jean-Yves Le Drian, yang dimintai tanggapannya mengenai hal ini, menolak berkomentar langsung.
"Kasus mantan tentara yang tergoda melakukan jihad sangat langka," kata Le Drian dalam konferensi pers untuk mengumumkan langkah-langkah anti-terorisme baru.
Pasca Tragedi Charlie Hebdo, pemerintah Prancis terus meningkatkan keamanan. Unit intelijen internal militer Prancis yang terdiri dari 1.000 personil intelijen, akan mendapatkan 65 staf tambahan untuk membantu perekrutan anggota militer secara lebih detail.
Salah satu dari tiga orang bersenjata yang menyerang sebuah pasar pada 7 Januari mengaku pengikut NIIS. Sedangkan dua lainnya yang menyerang kantor Charlie Hebdo, mengaku ada hubungan dengan al-Qaeda di Yaman.
Pihak berwenang Perancis mengatakan sedikitnya 1.200 warga dan penduduk Prancis terlibat dalam pertempuran ekstremis di Irak dan Suriah.
Mantan Anggota Elit Prancis
Mengutip media setempat, The Telegraph mengatakan yang paling mengkhawatirkan adalah adanya laporan bahwa mantan anggota pasukan elit Prancis yang tergabung dalam resimen First Marine Infrantry Parachute ikut membelot ke NIIS.
Resimen ini dianggap sebagai salah satu dari pasukan khusus yang paling berpengalaman di Eropa dengan motto Who Dares Win.
L' Opini, media massa Prancis, mengatakan tentara yang membelot itu tidak disebutkan namanya, tetapi dikatakan berlatar belakang keluarga dari Afrika Utara. Dia telah menerima pelatihan komando untuk pertempuran, juga pelatihan menembak dan teknik bertahan hidup . Ia bekerja selama lima tahun di ketentaraan Prancis, sebelum bergabung dengan sebuah perusahaan keamanan swasta. Melalui perusahaan swasta tersebut ia hijrah ke negara jazirah Arab, di mana ia mengalami radikalisasi sebelum menuju Suriah.
Pembelot- pembelot lain dikabarakan telah menjadi "emir" atau pemimpin bagi sepasukan tentara Prancis beragama Islam yang beroperasi di wilayah Deir Ezzor, Suriah. Mereka dilaporkan memiliki semua pelatihan tempur yang ketat.
Yang lainnya, menuru Radio France International adalah para ahli peledak yang umumnya masih muda, berusia duapuluhan tahun. Beberapa diantara mereka adalah mualaf Muslim. Sementara yang lainnya, adalah kalangan radikal Prancis yang berlatar belakang Arab-Muslim. "Beberapa diantara mereka adalah mualaf Muslim sementara yang lain adalah kalangan radikal Prancis dari latar belakang Arab-Muslim," kata sumber.
Editor : Eben Ezer Siadari
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...