Teolog Kristen akan Dilibatkan Revisi Permendikbud
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Diharapkan dalam revisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 154 nanti, salah satu perwakilan dari rumpun humaniora adalah teolog,” ujar Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi, Kepala Seksi Pendidikan Jarak Jauh, Uwes Anis Chaeruman dalam Konsultasi Nasional Pendidikan Tinggi Teologi 2015, pada hari Rabu (18/11).
KONAS yang berlangsung selama tiga hari di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung, Jakarta, merupakan wadah percakapan berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholders) dalam Pendidikan Tinggi Teologi. Selain itu, sebagai wadah yang menaungi kerjasama tiga program studi (Pendidikan Agama, Ilmu Agama, dan Filsafat Keahlian).
KONAS yang diikuti oleh sekolah anggota dan calon-anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA), lembaga gereja, lembaga negara, dan lembaga pendidikan tinggi teologi, mendiskusikan dan mengidentifikasi permasalahan dan alternatif penyelesaian masalah menyangkut penyelenggaraan masing-masing prodi, serta mendiskusikan prinsip-prinsip dasar kurikulum dari masing-masing prodi.
Salah satu pembahasan paling krusial dalam KONAS tersebut adalah mengenai Surat Keputusan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 154 Tahun 2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi.
Surat keputusan itu telah diundangkan dan telah memperjelas posisi dari tiga program studi dalam tiga rumpun keilmuan yang berbeda.
Presentasi dari Dikti mengenai Nomenklatur, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan penjelasan kebijakan nasional pendidikan tinggi yang berlaku menuai banyak sekali tanggapan dari para peserta KONAS.
Mereka menyebutkan bahwa seharusnya lembaga pendidikan tinggi berada di bawah naungan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, bukan di bawah naungan Kementerian Agama.
“Sertifikasi lembaga pendidikan tinggi yang berada di bawah naungan Kemenag tidak seberuntung nilai sertifikasi lembaga pendidikan tinggi yang berada dalam naungan Kemendikti,” ujar salah satu peserta ketika memberikan masukan kepada Dikti.
Para peserta menuntut kepada pemerintah agar secara tegas dalam menentukan kebijakan mengenai naungan kepada lembaga pendidikan tinggi, khususnya kepada Sekolah Tinggi Teologi.
“Eksistensi Sekolah Tinggi Teologi harus tetap ada,” tambah peserta yang lain.
“Kita pertama-pertama harus secara bersama-sama mendiskusikan prinsip-prinsip dalam kurikulum tiap prodi yang bermasalah,” kata Uwes.
“Pemberian gelar-gelar dalam lembaga tinggi teologi yang sudah diberikan kepada sarjana akan tetap seperti itu. Yang dimungkinkan berubah adalah Permendikbud nomor 154, tentu saja dengan langkah revisi,” ujar Uwes.
Dalam revisi yang telah dijanjikan oleh pihak Dikti tersebut, Uwes menyatakan bahwa salah satu dari perwakilan rumpun ilmu humaniora adalah teolog. Hal itu guna turut mereview, mengerucutkan, dan memecahkan permasalahan yang ada dengan lebih bijaksana. Kehadiran teolog di dalam musyawarah revisi tersebut dapat mengakomodir masalah yang dihadapi Sekolah Tinggi Teologi.
STT dalam KONAS ini juga berharap kepada pemerintah untuk kembali menjadikan teologi sebagai ilmu yang dinaungi oleh Dikti.
Dikti di dalam penyampaiannya menyatakan bahwa segala masukan dan harapan STT untuk ke depannya telah ditampung dan tinggal menunggu kebijakan dari hasil keputusan pihak yang berwenang.
Editor : Bayu Probo
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...