Terapis Anak Cerebral Palsy: Tidak Terlalu Berharap Ada Caleg Peduli Isu Difabel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Terapis anak cerebral palsy sekaligus pemilik Yayasan Kitty Center, Sinto Rustini (53), mengaku tidak terlalu berharap banyak dalam Pemilu 2014 mendatang akan ada calon legislatif yang peduli terhadap isu-isu kaum difabel (different ability, penyandang disabilitas, Red).
Saat ini, sejauh pengamatannya, kaum difabel tidak mempunyai hak untuk menggunakan fasilitas publik sebagaimana orang normal. Bahkan pemerintah sampai saat ini tidak mengupayakan dengan sungguh-sungguh pemenuhan hak bagi orang-orang difabel.
“Orang mungkin punya rasa kasihan, tapi untuk turun tangan langsung membantu, saya tidak terlalu optimistis. Mungkin terkesan skeptis, tetapi saya tidak mau terlalu banyak berharap,” ucap Sinto, saat dihubungi Senin (17/3).
Terapis yang juga menjadi dosen di UPN Veteran Jakarta itu mengatakan, selama ke luar negeri untuk menjalani pendidikan, seperti ke Jepang, Belanda, Singapura, Thailand, dan Australia, ia mengetahui anak-anak difabel sudah dijamin pemenuhan haknya oleh pemerintah setempat, jauh berbeda dengan apa yang terjadi di negeri ini.
“Kalau di luar negeri anak-anak difabel sudah di-cover semua kebutuhannya oleh pemerintah, kalau di sini siapa?” ujar Sinto.
Ia sempat mengeluhkan, pemerintah bahkan tidak punya standar tertentu untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK). Tetapi di Yayasan Kitty Center, Sinto yang menerapkan disiplin, baik untuk anak didik, orangtua, atau pengasuh, pendidikan di yayasannya justru dianggap terlalu keras untuk anak penyandang difabel. Padahal, di luar negeri, untuk melakukan terapi bagi ABK, butuh disiplin yang tinggi. Misalnya, membuat seorang anak yang mengalami kondisi cerebral palsy bisa berjalan.
Wanita asal Pacitan, Jawa Timur itu, mengatakan di kampung halamannya saja ada sekitar 400 anak ABK. Tetapi dengan semangat yang ia miliki, Sinto berinisiatif melakukan sosialisasi kepada komunitas dalam masyarakat, misalnya PKK, posyandu, puskesmas, rumah sakit dari tipe C, B, dan A, pasalnya dia menilai tenaga medis sendiri masih banyak yang tidak tahu cara memberikan dukungan terhadap penyandang difabel.
“Jika di Pacitan saja kondisinya seperti itu, sekitar 400-an anak ABK, bagaimana di kota besar seperti Jakarta?” tuturnya.
Bukan Dibantu, Malah Keluar Uang Sendiri
Kepada satuharapan.com, Sinto bersedia menceritakan pengalamannya sekitar 10 tahun yang lalu dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yayasan yang ia pimpin disebutkan mendapatkan bantuan uang sebesar 50 juta rupiah untuk pembangunan gedung yayasan. Tetapi, dalam pelaksanaannya, jalan yang dibuat tidak sesuai untuk anak didiknya yang ABK.
Namun, ketika Sinto memprotes pengerjaan tersebut, pihak yang disebut Sinto ‘oknum’ itu malah menjawab bahwa permintaannya tidak termasuk dalam uang bantuan itu. Sampai pada akhirnya, Sinto mengeluarkan uang dari yayasan.
Ia juga mencontohkan oknum dari instansi yang sama beberapa tahun lalu mengabarkan ia mendapat bantuan uang 15 juta rupiah. Namun, uang bantuan itu dipotong lima juta rupiah untuk biaya administrasi karena pada saat itu bertepatan dengan momentum hari Lebaran. Karena kesal, Sinto menolak uang bantuan itu, dan lebih memilih tidak menerima bantuan uang sama sekali.
Jangankan bantuan, Sinto mengungkapkan, bahkan salah satu cabang yayasannya di daerah Sunter, Jakarta Utara, harus membayar biaya sewa gedung yang sangat mahal, sebesar 38 juta rupiah.
Tidak Terlalu Berharap, tetapi Harapan Pasti Ada
Meskipun mengaku tidak terlalu berharap banyak dengan anggota legislatif untuk membantu menciptakan persamaan hak terhadap kaum difabel itu, tidak dipungkiri Sinto mereka tetap harus dibantu, baik melalui peran serta pemerintah maupun masyarakat.
Sosialisasi harus diberikan kepada masyarakat, supaya jangan sampai menjadikan kaum penyandang difabel tontonan. Kepada pemerintah, Sinto berharap ada persamaan hak bagi penyandang difabel berupa bangunan, pemeliharaan (maintenance), fasilitas publik, misalnya trotoar untuk orang berkursi roda, juga jalur untuk naik busway, sampai toilet umum.
“Sekarang ini orang difabel tidak punya hak di jalan raya, dan masyarakat pun hanya menjadikan mereka tontonan. Padahal tidak ada seorangpun yang minta dilahirkan tidak sempurnya. Penyandang difabel juga tidak pernah minta dilahirkan seperti itu, orang-orang harus mengerti itu,” Sinto menegaskan.
Untuk pemilihan umum (pemilu) legislatif pada 9 April mendatang, Sinto mengaku sudah punya pilihan caleg. Salah satu teman yang sudah lama bekerja bersamanya di Kitty Center, akan mencalonkan diri menjadi caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Caleg yang ia maksud bernama dr Amendi Nasution dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan nomor urut dua.
“Kalau tidak ada pilihan lain, saya akan pilih dia saja, yang memang sudah saya kenal, jadi nanti kalau ada apa-apa saya bisa minta tolong ke dia,” tandas Sinto.
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...