Terkait Desa Adat, Bali Akan Uji Materiil UU Desa
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Provinsi Bali akan menyiapkan tim dan bahan untuk melakukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa karena keberadaan desa di provinsi itu berbeda dengan di daerah lain.
"Memang langkah berikutnya menurut saya harus `judicial review`. Jadi saya minta tim mempersiapkan itu. Harus, tidak bisa tidak, supaya Indonesia tahu bahwa Bali ini lain. Kita tidak bisa disamakan begitu saja. Makanya Bali itu harus menjadi daerah otonomi khusus atau daerah istimewa dan kesempatan ini sebenarnya menjadi pintu masuk," kata Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, saat mengadakan rapat koordinasi dengan bupati/wali kota se-Bali terkait implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), seperti dikutip Antara.
Dalam Pasal 6 UU Desa disebutkan bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat. Namun penjelasan pasal 6 itu menyatakan bahwa dalam satu wilayah hanya terdapat desa atau desa adat. Dalam penjelasan pasal itu juga menyebutkan untuk daerah yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam satu wilayah harus dipilih salah satu jenis sesuai dengan ketentuan UU Desa itu.
Pastika mengkhawatirkan implikasi dari pemberlakukan UU Desa itu akan menyebabkan desa adat (desa pakraman) di Bali akan hilang, karena semata-mata ingin mendapatkan dana bantuan Rp1 miliar dari APBN. Mungkin juga namanya tetap desa pakraman namun ruhnya hilang karena nantinya harus dilantik dan diatur kepengurusannya oleh pemerintah. Padahal selama ini keberadaan desa adat bersifat otonom.
"Sebenarnya selama ini keberadaan desa dinas dan desa adat di Bali sudah berjalan baik-baik saja, karena fungsinya berbeda. Desa dinas mengurusi pemerintahan dan desa pakraman mengurusi adat," kata dia.
Namun, menurut dia, justru aturan yang baru dalam UU Desa untuk menyeragamkan keberadaan desa telah memicu timbulnya masalah di Bali. Hal itu akibat yang menyusun UU tersebut tidak paham dengan pembagian desa di Pulau Dewata serta tidak mengonsultasikan terlebih dahulu. "Tetapi karena sudah terjadi berarti memang langkah berikutnya menurut saya harus `judicial review`," tegas Pastika.
Mantan Kapolda Bali itu meminta para bupati/wali kota se-Bali turut memikirkan secara serius persoalan tersebut dan turut menyosialisasikan supaya para bendesa (pimpinan desa adat) mengerti dan tidak hanya mengarahkan pikiran untuk mendapatkan dana bantuan pemerintah sebesar Rp1 miliar.
Pihaknya juga tidak percaya kalau desa adat yang satu bisa digabungkan dengan desa adat yang lain, karena masing-masing memiliki kuburan dan Pura Kahyangan Tiga.
Potensi Degradasi
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Bali, I Wayan Sugiada, mengemukakan beberapa permasalahan yang akan muncul apabila desa adat yang ditetapkan, di antaranya terdapat beberapa wilayah desa adat terletak di kecamatan atau kabupaten yang berbeda (saling seluk). Di Bali ada 716 desa dinas dan 1.488 desa adat sehingga rentan menimbulkan konflik besar, apalagi kalau sampai terjadi penggabungan desa adat.
"Dengan adanya bantuan dana, maka dimungkinkan desa adat akan membentuk desa adat baru. Belum lagi masalah kependudukan bagi penduduk yang tinggal di desa adatnya sekarang. Konsep `ngayah` atau gotong-royong secara ikhlas dari warga desa adat pun akan mengalami degradasi karena akan berlaku sistem pemerintahan desa yang mengacu pada aturan nasional. Demikian juga independensi desa adat akan terdegradasi karena harus tunduk pada UU negara," kata dia.
Permasalahan lainnya, kata Sugiada, kalau 1.488 desa adat yang didaftarkan, maka jumlah ini belum tentu juga disetujui oleh pemerintah pusat, serta banyak desa adat yang jumlah warganya sangat sedikit dan tidak sesuai dengan jumlah minimum yang dipersyaratkan UU.
Sedangkan kalau desa dinas yang ditetapkan atau didaftarkan, maka konsekuensinya desa adat belum diakui sebagai subjek hukum. Desa adat juga tidak akan hilang karena dijamin oleh UUD 1945 pasal 18B ayat 2. Desa dinas dapat mengadopsi desa adat termasuk mengalokasikan anggaran yang diperoleh dari pusat sesuai dengan pasal 95 UU Desa.
Soal Anggaran
"Memang desa adat tidak dapat mengakses anggaran pusat secara langsung, tetapi tetap bisa mendapatkan anggaran dari pemerintah daerah seperti saat ini dan bisa diperkuat dengan perda dan kemungkinan konflik lebih kecil. Di sisi lain, desa adat akan tetap merasa kurang dihargai seperti halnya desa dinas padahal beban kerja perangkat desa adat sangat besar termasuk urusan negara misalnya KB sistem banjar, keamanan lingkungan dan sebagainya," ujarnya.
Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, dalam kesempatan pertemuan itu berpendapat bahwa desa adat dan desa dinas semestinya harus tetap eksis. "Adat tetap eksis untuk menunjang rohnya Bali ini karena dasarnya Tri Hita Karana, tetapi di lain pihak desa dinas menjadi perpanjangan tangan pemerintah," kata dia.
Dia pun tidak setuju kalau desa adat harus tunduk pada aturan, dilantik bupati, dan diatur kepengurusan oleh bupati. Desa adat, menurut dia, harus tetap otonom.
Lain lagi dengan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, yang mengajak para pemangku kepentingan terkait untuk melihat persoalan itu secara menyeluruh, tidak hanya menekankan pada bantuan, tetapi seharusnya pengembangan makro dan mikro ekonomi.
Sejarawan yang juga akademisi Universitas Udayana, Prof Parimartha, juga mengungkapkan bagaimana sejarah eksisnya desa adat di Bali mulai sejak Pemerintahan Kolonial Belanda. Dia mengungkapkan hanya di Bali saja desa adat masih bisa eksis dan di tempat lain sudah punah menjadi desa dinas. Dia sependapat dengan Gubernur Pastika bahwa perlunya mengajukan "judicial review".
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...