Terkait Rohingya, Annan Akan Kunjungi Myanmar
MYANMAR, SATUHARAPAN.COM – Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan akan mengunjungi negara bagian Rakhine di Myanmar yang bergejolak dan mendapat sorotan dunia untuk penyelidikan atas kasus kekerasan yang menyebabkan puluhan orang tewas.
Annan yang merupakan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, dan pada bulan Agustus dipilih untuk menjadi ketua Komisi Penasihat untuk negara bagian Rakhine. Komisi itu bertugas untuk menemukan solusi yang lestari atas konflik kekerasan di Mynamar barat itu di mana tinggal sekitar 1,2 juta warga Rohingnya yang miskin.
Anggota komisi dan Ketua Konvener untuk Pusat Islam Myanmar, Aye Lwin mengatakan kepada media Turki, Anadolu, bahwa Annan aka tiba di Myanmar untuk misi itu dalam beberapa hari.
Dia juga akan mengunjungi ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, dan negara bagian Rakhine. Annan terakhir mengungjungi Myanmar pada bulan September, pertama kali dalam tugas di komisi itu.
Sejak 2012 wilayah itu mengalami konflik komunal yang serius antara etnis Rakhine yang memeluk agama Buddha dan warga Rohingya yang disebut oleh Myanmar sebagai orang Bengali. Ketrusuhan yang berlanjut itu menyebabkan 100 orang meninggal dan 100.000 orang mengungsi dan tinggal di kamp, terutam dari warga Muslim Rohingya.
Pada hari Senin, pejabat senior di negara bagian Rakhine mengatakan bahwa Annan juga akan mengunjungi Maungdaw, wilayah di utara Rakhine, dan dekat perbatasan dengan Bangladesh. ‘’Setahu saya dia akan mengunjungi Sittwe dan Maungdaw dalam pekan ini,’’ kata pejabat itu kepada media di Myanmar.
Dalam beberapa pekan terakhir, demonstrasi digelar di depan kedutaan Myanmar di sejumlah negara yang menyerukan agar dihentikan penindasan terhadap etnis Rohingya.
Pihak Myanmar mengatakan bahwa sejak serangan pada 9 Oktober lalu setidaknya 86 orang tewas, 17 tentara dan 69 warga, serta sejumlah rumah hancur. Sementara dari pihak Rohinya mengklaim bahwa jumlah korban jauh lebih banyak, bahkan mencapai 400 orang.
Menurut keterangan pemerintah Myanmar, sedikitnya 488 orang ditahan dengan tuduhan terlibat dalam memprovokasi serangan awal dan yang diduga melakukan serangan ketika polisi dan militer melakukan pembersihan.
Pada hari Senin (28/11), kantor Komite Informasi Negara mengumumkan bahwa ada 42 orang yang ditangkap dalam empat hari terakhir.
Undang-undang yang disahkan di Myanmar pada tahun 1982 menolak Rohongya sebagai warga negara, meskipun banyak yang telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi. Hal itu membuat mereka menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless).
Hukum yang menolak kebangsaan terhadap kelompok Rohingya membuat mereka dibatasi geraknya, termasuk akses pada pendidikan dan layanan publik lain, bahkan kemungkinan penyitaan atas properti mereka.
Rohingya termasuk di antara etnis yang paling teraniaya di dunia, menurut PBB. Oleh Myanmar, mereka dianggap sebagai orang Bengali dan bukan Myanmar yang masuk ke wilayah yang berbatasan dengan Bangladesh.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...