Tetap Bersekolah Meski di Tengah Ancaman Perang
(IDLIB, SURIAH) Perang saudara Suriah yang sudah berlangsung selama lebih dari dua tahun telah banyak memakan korban, terutama penduduk sipil yang kebanyakan adalah wanita dan anak-anak. Namun ternyata, semangat anak-anak untuk tetap bersekolah tidak pernah pudar dari anak-anak di Suriah. Tampaknya anak-anak ini sadar, bahwa pendidikan adalah satu hal penting yang masih patut dipertahankan dalam keadaan seburuk apapun.
Prinsip ini jugalah yang menjadi pegangan guru-guru sekolah di kota Idlib, Provinsi Idlib, Suriah. Mereka bersama orangtua murid berjuang tetap membuka sekolah di tengah situasi yang sama sekali tidak kondusif. Perang, ketiadaan komunikasi, penerangan, dan bahan bakar menyebabkan anak-anak harus belajar ditempat gelap dan dingin.
Namun hal ini bukanlah halangan bagi murid-murid mengagumkan itu. Salah satunya Fatima Harmadi yang berumur delapan tahun. Dengan rambut keriting gelap dan senyum manis yang selalu mengembang wajahnya, ia semangat mengikuti kegiatan di sekolah. Fatima seperti juga anak-anak lain seusianya, ia senang bersenda gurau dengan teman-temannya sebelum sekolah dimulai pukul tujuh pagi. Walaupun saat itu hujan, Fatima tampak senang sekali, ia melompat-lompat kecil seraya berjalan menuju sekolah dari desa tempat tinggalnya. "Saya suka sekolah," katanya. "Tapi ketika pesawat datang, itu menakutkan dan kita semua harus tinggal di rumah", sambungnya lagi, seperti yang diberitakan oleh kantor berita Global Post.
Bagi sekolah dengan 500 murid tersebut, membuka sekolah berarti harus siap berjuang terus-menerus. Kepala sekolah dan 32 guru yang menolak disebutkan namanya mengatakan seluruh staf didorong untuk tetap bekerja, walaupun mereka takut pemerintah menjadikan mereka target, jika tahu sekolah tersebut masih beroperasi.
"Sekarang kami menutup beberapa kelas selama beberapa hari, kemudian menuju rumah pengungsi sampai kami menemukan keluarga setempat untuk tinggal bersama, tapi kita harus tetap menjaga sekolah ini terbuka. Sekolah ini sangat penting untuk anak-anak ", tuturnya.
Sekolah yang mengakomodasi 600 sekolah dasar dan 400 siswa sekolah menengah tersebut, berjalan dua shift sehari dan beroperasi bahkan pada hari Jumat, hari suci umat Muslim. Sekolah ini tidak hanya menerima anak-anak dari sekolah lain, tetapi juga ratusan pengungsi yang tinggal di desa.
Seorang guru berumur 28 tahun mengatakan, di tengah serbuan pengungsi ke desa mereka, semakin banyak siswa yang bergabung dengan mereka. Fokus para guru adalah bagaimana meningkatkan nilai anak-anak agar mereka siap menghadapi kenaikan tingkat. Dengan para orangtua yang begitu bersemangat membantu, para guru yang berasal dari berbagai kalangan ini tetap bekerja sukarela, tanpa digaji.
Perang bukanlah satu-satunya hambatan. Kepala sekolah mengatakan mereka juga harus menghadapi penentangan dari warga yang percaya bahwa sekolah adalah penyebar propaganda pemerintah. Warga berpendapat, semestinya sekolah beroperasi dibawah lembaga pendidikan dan kurikulum yang baru. Untuk menenangkan warga, para guru telah merobek halaman yang menyebutkan tentang pemerintah dari buku anak-anak.
Sejak perang berkecamuk, semakin banyak sekolah yang ditutup. Padahal banyak anak-anak menganggap sekolah ibarat surga bagi mereka, tempat mereka bertemu teman dan melarikan diri dari ketakutan yang mereka alami. Nejwa (17) seorang wanita dari distrik al-Shugur Jish dekat perbatasan Turki Barat berkata bahwa sekolah adalah hidupnya.
"Bagi anak-anak perempuan di desa, sekolah adalah salah satu gerbang meraih kebebasan," ujarnya.
Editor : KP3
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...