Tim Hukum PGI: Ada Persepsi di Aceh Tidak Boleh Ada Gereja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anggota tim hukum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Johny N. Simanjutak, SH mengatakan akar masalah pelarangan pendirian rumah ibadah di Singkil dikarenakan adanya persepsi di tengah masyarakat mengenai tanah Aceh sebagai tanah Islam atau Serambi Mekkah.
Menurut dia, logika masyarakat Aceh dibentuk dengan persepsi itu sehingga di Serambi Mekkah seolah-olah tidak boleh ada gereja.
“Kalau saya ditanya akar masalahnya apa? Menurut saya akar masalahnya adalah memang di dalam kepala, di dalam pikiran orang Aceh, tanah Aceh itu adalah Serambi Mekkah. Masa ada gereja di Serambi Mekkah? Kan tidak mungkin. Itulah logika mereka,” kata Johny dalam acara “Diskusi Aceh Singkil” yang diselenggarakan Tim Pokja Oikotree Indonesia bekerjasama dengan satuharapan.com, di Aula Sinar Kasih, Jakarta, hari Kamis (29/10).
“Nah bahwa pendapat yang begini kemudian dikait-kaitkan oleh orang dengan politik, atau lainnya ya boleh-boleh saja sebagai pemicu ya. Tapi akarnya di sana. Selama semua wilayah Aceh dianggap Tanah Syariah maka tentu saja masalah ini tidak akan selesai karena akarnya di sana. Yaitu bahwa yang disebut Tanah Aceh adalah semua mulai dari utara sampai ke selatan, yang dalam MoU antara pemerintah Indonesia dengan GAM dulu disebut bahwa wilayah Aceh itu berpedoman pada Undang-undang atau PP tahun 1956,” kata Johny menegaskan.
Lebih lanjut, Johny mengatakan berdasarkan MoU Helsinki, kewenangan untuk mengatur kebebasan beragama di Aceh bukan ranah pemerintah Aceh melainkan kewenangan pemerintah pusat.
Menurut dia, berdasarkan nota kesepahaman atau MoU Helsinki maka masalah agama di Aceh menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan bukan ranahnya pemerintah daerah.
Sebagai catatan MoU Helsinki adalah nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tertanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki yang menjadi landasan perdamaian Pemerintah RI dengan GAM. Berdasarkan MoU ini pula pemerintah Aceh mendapat otonomi yang luas, termasuk mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang selama ini banyak dikeluhkan.
“Menurut MoU sebenarnya masalah agama tidak masuk dalam ranah pemerintah Aceh. Agama itu sama seperti dengan pemerintah-pemerintah kabupaten yang lain, otonomi-otonomi yang lain bahwa agama, moneter, kemudian pertahanan, hubungan luar negeri adalah ranahnya pemerintah pusat bukan ranahnya pemerintah daerah,” kata dia.
Dalam MoU Helsinki pasal 1.1.2. ayat a dikatakan,”Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.”
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...