Gereja yang Dibakar di Singkil Bukan di Perkampungan Muslim
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anggota tim hukum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Johny N. Simanjutak, SH mengatakan gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) yang dibakar di Singkil terletak di perkampungan Kristen dan bukan di perkampungan penduduk yang mayoritas Muslim.
Johny menegaskan hal itu untuk mengklarifikasi anggapan yang selama ini berkembang, seakan-akan gereja tersebut berada di perkampungan yang seluruhnya dihuni penduduk Muslim.
“Dan gereja-gereja yang sekarang ada di sana berdirinya di perkampungan Kristen, termasuk gereja yang dibakar. HKI itu di perkampungan Kristen bukan di perkampungan Muslim,” kata Johny dalam acara “Diskusi Aceh Singkil” yang diselenggarakan Tim Pokja Oikotree Indonesia bekerjasama dengan satuharapan.com, di Aula Sinar Kasih, Jakarta, hari Kamis (29/10).
“Muslim Kristen di sana 50-50. Jadi total orang Kristen yang terdaftar dari seluruh penduduk di Singkil kurang lebih 19.000-20.000 jiwa dari 107.000 jiwa. Jadi ada mereka kira-kira 20 persen kurang lebih, semua ada di belahan barat Singkil,” kata dia menambahkan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin telah mendengarkan keluhan umat Islam di Singkil mengenai berdirinya banyak gereja di wilayah yang mayoritas Islam itu.
"Saya memang melakukan pembicaraan ke sana (Singkil), kawan-kawan di sana bilang bagaimana sebuah kecamatan tidak terlalu besar, mayoritas muslim tapi ada tempat rumah ibadah lain yang jumlahnya bahkan lebih dari masjid," kata Din Syamsuddin usai menghadiri "Rembug Tokoh Agama Menyelamatkan Bumi" di Balai Kartini, Jakarta Selatan, hari Kamis (15/10) sebagaimana dikutip detiknews.
Ia menilai keluhan ini menjadi introspeksi untuk setiap kaum agama di Indonesia. Din meminta umat beragama menerapkan toleransi dan tahu diri saat menjadi kaum minoritas di wilayah tertentu.
"Kalau di kalangan mayoritas tertentu, pemeluk agama lain harus tahu diri. Yang Islam harus tahu diri di Papua. Makanya di Tolikara tidak usah banyak masjid karena mayoritas Kristen. Tapi di mayoritas Muslim, jangan banyak gereja," ujarnya.
Ia memahami kegusaran umat Muslim di Singkil yang melihat banyaknya gereja sedangkan mayoritas warganya memeluk agama Islam. Menurutnya, aturan pembangunan rumah ibadah yang dibuat oleh pemerintah dalam SKB 2 Menteri saat ini sudah baik. Namun, pelaksanaan di lapangan haruslah juga dipantau.
Hal ini karena pembangunan rumah ibadah adalah hal sensitif dan bisa jadi pemicu konflik antar warga. Meski fungsi rumah ibadah sebagai tempat untuk melakukan kebebasan beragama, tetapi ada efek sosial pada lingkungan sekitar yang harus dipikirkan.
"Salah satu faktor picu di negara ini adalah pendirian rumah ibadah. Itu tidak semata-mata ranah kebebasan beragama. Tapi ketika muncul (dibangun), dia jadi punya efek sosial pada sekitarnya," katanya.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...