Timbuktu dan Hilangnya Kedamaian
TIMBUKTU, SATUHARAPAN.COM – Timbuktu sebuah kota di negara Mali. Kota kuno ini identik dengan ujung bumi, namun kedamaian dalam kehidupan dirasakan oleh penduduknya di mana mereka bersaudara, meskipun memiliki perbedaan keyakinan.
Timbuktu juga merupakan kota bersejarah dan menyimpan catatan penting tenyang perkembangan Islam di Afrika. Sedemikian pentingnya, sehingga UNICEF menatapkan beberapa situs kuno di sana menjadi warisan dunia.
Namun Perang saudara di Mali beberapa bulan lalu telah memporak-porandakan Timbuktu. Nasib manusia, hubungan sosial, kehidupan ekonomi, dan berbagai warisan sejarah yang penting menjadi rusak. Kedaiaman di Timbuktu berubah menjadi kengerian.
Warga Yang Toleran
Paul Jeffrey menulis untuk catholicnews.com dan menyebutkan penduduk kota ini 99 persen adalah Muslim, dan hanya sekitar satu persen pemeluk Kristen. “Tetapi kita semua toleran. Islam mengajarkan kami untuk menghormati semua agama," kata Ben Abdrahamane Essayouti, seorang imam kepala dari kota gurun itu.
Sayangnya, terorisme dari kelompok ekstrimis Islam baru baru ini datang. Mereka mengingkari kenyataan bahwa selama bertahun-tahun kota Timbuktu hidup dalam damai, ada koeksistensi antara Muslim dan Kristen.
Moha Ag Oyahitt, seorang pendeta setuju dengan pendapat itu. Dia seorang pendeta Baptis yang melarikan diri dari Timbuktu menuju Bamako, ibu kota negara, ketika teroris yang berafiliasi dengan jaringan Al Qaeda mengambil alih kota itu.
"Tidak ada masalah di Timbuktu antara kami dan Muslim. Kami hidup sebagai saudara dan saudari. Satu-satunya perbedaan adalah kami percaya pada Yesus Kristus dan Muslim pada (Nabi) Muhammad. Selain itu, tidak ada masalah. Apapun yang kami lakukan, kami mengundang mereka, dan mereka mengundang kami ketika mereka ada kelahiran atau acara pernikahan. Apapun aktivitasnya, kami saling mengundang satu sama lain. Ketika kami, orang Kristen, melakukan kegiatan evangelis, mereka juga datang,” kata dia.
“Aku tidak bisa menjelaskan kepada Anda bagaimana indahnya itu, hidup bersama dalam damai,” kata Oyahitt.
Masalah muncul di Timbuktu dimulai pada bulan April 2012, ketika kota itu diambil alih oleh Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad, atau MNLA. Kelompok itu sebagian besar dari suku Tuareg dan menginginkan sebuah negara sekuler dan mandiri di Mali Utara. Namun kelompok Islam segera berbalik dan melawan MNLA. Mereka datang dari luar kota, menyerukan jihad untuk mengendalikan Timbuktu.
"Kami kita tidak pernah punya masalah selama bertahun-tahun, sampai mereka bersatu dengan kelompok “teroris”. Maka, kami mulai memiliki masalah," kata Oyahitt.
Kelompok Jihad
Essayouti mengatakan, kelompok-kelompok garis keras Islam, termasuk Ansar Dine dan Gerakan untuk Persatuan dan Jihad di Afrika Barat, menginginkan Mali diatur oleh hukum Islam.
"Mereka bukan Muslim. Mereka adalah teroris. Mereka datang ke sini hanya untuk menghancurkan dan mencuri. Dalam masyarakat Timbuktu, kami tahu Islam, dan kami mengajarkan Islam, tetapi apa yang mereka pikirkan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda," kata imam Essayouti.
Essayouti mengatakan bahwa kedatangan pasukan Perancis untuk membebaskan Timbuktu disambut sebagai pahlawan oleh seluruh penduduk. "Ketika Perancis datang ke Timbuktu, itu seperti kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali," kata imam itu.
Pasukan Prancis dikirim ke Timbuktu untuk membebaskan kota itu dari kekuasan kelompok jihad. Dengan cepat pasukan menguasai kota. Namun kota itu sekarang masih menyimpan kekhawatiran atas penarikan kembali pasukan Prancis.
Banyak penduduk Timbuktu menilai apa yang disebut kaum jihad di sana, tak lebih dari sebuah sindikat kejahatan terorganisir. Mereka mengatakan, kalau Islam tiba, mereka akan memperoleh rumah, kendaraan, dan lemari es, dan seringkali truk-truk melalui padang gurun untuk menurunkan dan menjual barang di tempat lain. Banyak “pejuang” yang bolak-balik berpindah antara kelompok jihad yang satu ke kelompok yang lain, tergantung kelompok mana yang menawarkan keuntungan yang lebih baik.
Kisah Dedeou
Maman Dedeou, seorang warga Timbuktu, melihat bahwa semua terlalu baik. Ketika kelompok jihad memintanya untuk menyimpan beberapa barang yang diperoleh dari penjarahan di kantor-kantor pemerintah, Dedeou melakukannya.
Kemudian, ketika dia mendapatkan kesulitan dan berpikir bahwa kelompok jihad telah meninggalkan kota, dia menjual sebagian hasil curian itu. Tak lama setelah itu, kelompok jihad kembali dan Dedeou ditangkap karena dituduh menjadi pencuri.
Selama beberapa minggu,anggota kelompok jihad itu memeras dia yang nilainya setara dengan beberapa ribu dolar Amerika Serikat dari keluarganya. Hal itu seharusnya untuk membeli kebebasannya, tetapi dia tetap ditahan.
Ketika keluarganya akhirnya tidak bisa lagi membayar apa-apa untuk menebus Dedeou, anggota kelompok jihad itu memotong tangan kanannya.
Setelah berbagai masalah itu, Dedeou menghindar ke Bamako untuk perawatan medis dan tidak kembali ke Timbuktu, sampai Prancis ikut campur tangan dan memasuki kota itu. Dia sekarang tinggal dengan seorang teman dan sedang mencari pekerjaan, tetapi dalam situasi kota yang ekonominya sekarat, hal itu tidak mudah, apalagi bagi seorang tanpa tangan kanan.
Dedeou adalah seorang Muslim. Dia mengatakan masih marah tentang apa yang kelompok ekstremis lakukan terhadap tubuhnya dan kotanya. Dalam kemaraha, dia mengatakan,"Jika saya melihat kelompok jihad itu hari ini, saya akan memotong lehernya," katanya kepada catholicnews.
Banyak Manuskrip Hilang
Timbuktu adalah sebuah kota yang disebut sebagai simbol Afrika dan memiliki banyak peninggalan sejarah yang penting. Ketika selompok Islam garis keras menyerang kota itu ada sekitar 14 makam kuno yang dirusak.
Sejujumlah media memberitakan bahwa selama pertempuran ada setidaknya 2.000, bahkan mungkin sampai 3.000 naskah kuno (manuskrip) yang sangat berharga yang hilang. Bahkan estimasi terakhir menunjukkan ada 4.203 naskah yang benar-benar hilang. Diduga sebagian besar naskah yang hilang itu rusak terbakar.
Timbuktu dikenal sebagai pusat belajar Islam dalam kurun abad ke-13 hingga abad ke-17. Di kota itu ada koleksi sekitar 700.000 naskah yang berada di perpustakaan umum, dan koleksi pribadi. Naskah itu berisi tentang agama dan ajaran agama, hukum, sastra dan ilmu pengetahuan.
Lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Unesco memasukkan ke dalam daftar warisan dunia pada tahun 1988 untuk tiga masjid dan 16 kuburan dan makam. Kota ini memainkan peran utama dalam penyebaran Islam di Afrika Barat, dan catatan tertua menyebutkan angka tahun 1329. Itu sebabnya penduduk di sana mempertanyakan mengapa kelompok jihad menghancurkan makam dan peninggalan lain setelah bisa merebut kota?
Pada Juni lalu ada sebuah tim yang menyelidiki kerusakan peninggalan penting di Timbuktu. Ketua misi itu, Lazare Eloundou Assomo, mengatakan, monumen yang berada di pintu masuk kota itu telah rata dengan tanah. Dia juga khawatir ribuan naskah diselundupkan keluar dari Timbuktu.
Apalagi, kawasan itu memasuki musim hujan dan udara makin lembab. Hal itu akan menyebabkan kehancuran pada naskah-naskah tersebut. Timbuktu adalah simbol sejarah Afrika. Kota ini tempat tersimpan pengetahuan yang menjelaskan bagaimana Islam berkembang di Afrika dan bagaimana hebatnya orang-orang Afrika pada masa itu.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...