Tingkatkan Kesejahteraan Buruh Perkebunan Sawit
MEDAN, SATUHARAPAN.COM – Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berwatak eksploitatif. Potensi dan kontribusi kelapa sawit untuk perekonomian nasional memang sangat tinggi, namun membawa dampak sosial, lingkungan dan ekonomi yang mengkhawatirkan. Keuntungan ekonomi dari produksi kelapa sawit tidak terdistribusi merata. Buruhnya dieksploitasi buruh kebun dan menciptakan kemiskinan bagi masyarakat lokal akibat tanah yang dirampas.
Hal itu diurai dalam seminar 2 hari yang diselenggarakan aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo) di Medan. Seminar berlangsung dari 8 – 9 November 2013 di Universitas Nomensen dengan tema ‘Hentikan Eksploitasi Buruh Perkebunan Dan Industri’.
Deputi Direktur Sawit Watch Ahmad Surambo mengatakan, “Menurut data Kemendag, produksi kelapa sawit meraup keuntungan 205 trilyun Rupiah pada 2012, meningkat 160 trilyun dari 2011. Namun peningkatan keuntungan tersebut tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi indonesia yang mengalami penurunan sekitar 6,3 persen pada 2012.”
Lanjutnya, “Keuntungan tersebut seakan menguap dan malah meninggalkan jejak kemiskinan pada hidup buruh, petani dan masyarakat adat. Kelapa sawit yang dinilai telah menyerap banyak tenaga kerja ternyata belum mampu mensejahterakan buruh, petani dan masyarakat adat.”
Pengembangan industri kelapa sawit telah mengubah dinamika perekonomian lokal, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan. Keterbatasan pilihan pekerjaan dan tidak adanya perlindungan negara mengakibatkan buruh perkebunan terpaksa bekerja dengan bayaran minimal, standar kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk dan hubungan kerja yang berbasis eksploitatif. Pengembangan industri kelapa sawit berdampak pada lingkungan dan mengancam ketahanan pangan.
Besarnya kekuasaan perusahaan perkebunan akibat dari lemahnya pengawasan Negara menempatkan buruh pada posisi tak berdaya. Upah murah, buruh kontrak atau outsourcing, minim fasilitas, rentan atas kecelakaan kerja adalah wajah dari industri perkebunan di Indonesia.
Direktur Yayasan Lentera Sumatera Utara Herwin Nasution menyebutkan sedikitnya ada 80 ribu buruh harian lepas dari 236 ribu buruh yang ada di perkebunan sawit skala besar yang beroperasi di Sumatera Utara. Dengan perhitungan dalam 100 hektar sawit, terdapat 22 orang buruh yang di dalamnya sebanyak 10 orang buruh harian lepas. Perhitungan ini belum termasuk keluarga, anak-anak, dan perempuan yang membantu bekerja tanpa status dalam perkebunan.
“Jumlah tersebut belum termasuk jumlah kernet dan buruh borongan yang tidak memiliki ikatan kerja. Jumlah tenaga kerja tersebut tidak terdokumentasikan dengan baik, baru perkiraan saja,” kata Herwin Nasution.
Perkembangan praktek perburuhan di perkebunan sawit menggerakkan aliansi Serbundo yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat dan beberapa serikat buruh untuk meminta kepada pemerintah menindak tegas terhadap perusahaan yang memperlakukan buruh sewenang-wenang. Serbundo mendesak pemerintah untuk mengawasi praktek-praktek perburuhan yang ada di perkebunan sawit, dari mulai perekrutan hingga sistem penggajian. Juga adanya pembuatan kebijakan yang lebih mendukung atas kesejahteraan buruh. Serbundo juga menuntut agar adanya pemberian kebebasan atas buruh untuk berserikat dan berkumpul untuk menentukan masa depan yang lebih baik.
Selain beberapa tuntutan tersebut, peserta juga merumuskan sebuah petisi atas kondisi buruh perkebunan sawit yang memperihatinkan yang akan ditujukan ke Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...