Tiongkok Hapuskan Kebijakan Satu Anak
TIONGKOK, SATUHARAPAN.COM - Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa pada hari Kamis (29/10) mengatakan akan menghapuskan kebijakan satu anak yang telah diterapkan puluhan tahun di negara itu, dan memungkinkan pasangan untuk memiliki dua anak.
Kantor Berita resmi Xinhua mengatakan, keputusan itu bertujuan untuk menyeimbangkan perkembangan populasi sesuai gender, dan untuk mengatasi populasi yang menua.
Sejak kebijakan satu anak diberlakukan, penduduk Tiongkok lebih didominasi laki-laki yang bukan usia produktif. Walaupun penduduk Tiongkok berjumlah besar, orang-orang yang lahir sebelum kebijakan ini diberlakukan, berasal dari keluarga besar, kini merupakan bagian besar dari populasi Tiongkok, sementara angkatan kerja di negara itu menyusut.
Para ekonom mengatakan, perubahan itu akan memiliki dampak yang terbatas dalam mengubah demografi dalam beberapa dekade mendatang.
"Perubahan mungkin akan memberikan dorongan sementara untuk angka kelahiran total (TFR) penduduk dalam 10 sampai 15 tahun," tulis analis di Bank of America, Merrill Lynch, dalam sebuah catatan penelitian yang dikutip dari South China Morning Post.
Mereka memperkirakan kenaikan jumlah bayi yang baru lahir dari 2,1 juta per tahun dalam lima tahun setelah perubahan kebijakan. "Namun, perubahan kebijakan populasi akan memiliki dampak kecil pada jumlah anak yang dilahirkan di Tiongkok ," kata mereka.
Data resmi angka kelahiran total (TFR) di Tiongkok sekarang menunjukkan 1,5-1,65, tetapi analis percaya angka itu dibesar-besarkan. "Meskipun demikian, TFR Tiongkok akan meningkat cukup dalam beberapa tahun pertama, diikuti oleh penurunan bertahap menjadi sekitar 1,4."
"Ini adalah sedikit lebih tinggi dari TFR Jepang dan Korea sebesar 1,3, tetapi lebih rendah daripada negara-negara Asia berkembang lainnya, seperti India pada 2,5 dan Vietnam 1,7," kata mereka.
Wen Bin, kepala ekonom di Tiongkok Minsheng Bank, mengatakan tanggapan terhadap masalah bertambahnya penduduk usia tua, yang telah menyebabkan penurunan pasokan tenaga kerja, tingkat konsumsi yang lebih tinggi dan tingkat tabungan rendah, menghambat potensi pertumbuhan ekonomi.
Pada bulan Mei lalu , 1,45 juta pasangan telah diterapkan untuk memiliki anak kedua, namun hanya sekitar 12 persen dari total yang memenuhi syarat.
Tingginya harga properti di perkotaan, terbatasnya layanan kesehatan dan pendidikan, memburuknya kualitas udara, membuat banyak pasangan enggan memiliki keluarga lebih besar.
Wang Pei, analis perusahaan konsultan Horizon, mengatakan akan mengamati 20 hingga 25 tahun ke depan, apakah masih ada pasangan keluarga yang bersedia untuk membesarkan anak kedua.
"Hal ini menunjukan bahwa perubahan kebijakan tidak akan ada dampak pada perekonomian dalam jangka pendek," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Pers Gedung Putih Josh Earnest yang dikutip dari usatoday.com mengatakan, perubahan kebijakan adalah "langkah positif," tapi, "kami juga berharap ada hari ketika batas kelahiran ditinggalkan sama sekali."
"Amerika Serikat menentang terus kebijakan pembatasan kelahiran koersif, termasuk aborsi paksa dan sterilisasi," katanya. "Ini akan jatuh dalam kategori kebijakan yang secara langsung berkaitan dengan hak asasi manusia universal."
Amnesty International memperingatkan, perempuan Tiongkok akan tetap berisiko dengan metode pengendalian kelahiran melalui aborsi paksa. Organisasi itu mengatakan terus menerima laporan dari aborsi paksa ilegal dan sterilisasi dalam beberapa tahun terakhir.
"Langkah untuk mengubah kebijakan satu anak Tiongkok tidak cukup," kata William Nee, peneliti di Amnesty International dalam sebuah pernyataan, "Pasangan yang memiliki dua anak masih bisa mengalami pemaksaan kontrasepsi dan, dan aborsi,” katanya.
Reaksi masyarakat di media sosial sangat beragam, demikian pula pemberitaan di Tiongkok. Berita terhangat di Wangyi, aplikasi online utama untuk berita, berbicara tentang tantangan ekonomi, jika memiliki terlalu banyak anak.
Banyak pula yang tidak senang dengan perubahan itu, mengatakan mereka sekarang terlalu tua atau miskin untuk memiliki anak kedua. Sementara, beberapa dari mereka tidak mendukung perubahan, karena itu bisa berarti lebih banyak kerusakan lingkungan, dan akan memakan biaya besar untuk pelayanan sosial.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...