Titi Sumbung: “Toleransi Diwujudkan Melalui Kesetaraan”
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Titi Sumbung, Ketua Indonesian Center for Women in Politics (ICWIP) menekankan bahwa intoleransi yang digembor-gemborkan Benedict Rodgers dalam laporan yang dirilisnya pada Februari 2014 silam dapat diatasi dengan kesetaraan. Titi mengatakan pada Selasa (3/6) siang di Utan Kayu, Jakarta.
“Intoleransi terjadi adalah karena kurangnya kesetaraan di tengah-tengah masyarakat, dan menurut saya yang paling penting adalah para wakil rakyat harus menuntaskan tentang kesetaraan sampai sekarang belum rampung,” kata Titi.
“Puluhan tahun sampai sekarang RUU KKG (Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender – red) sampai sekarang belum tembus, di Komisi VIII DPR RI,” lanjut Titi.
Titi mengatakan adanya hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan merupakan suatu hal yang menegaskan peran keduanya di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi ada satu hal yang disayangkan Titi dan koalisinya.
“Yang menjadi hambatan sesungguhnya adalah adanya tendensi untuk memasukkan agama dalam pertimbangan di undang-undang itu. Kalau sampai agama dimasukkan bukannya memberi dukungan kepada kelompok kita, tetapi ini malah menjadi hambatan sterusnya untuk mendapatkan kesetaraan,” lanjut Titi.
Advokasi RUU KKG yang dipimpin Titi pernah mengatakan bahwa RUU ini terlalu lama dibahas, sejak masa pemerintahan Gus Dur akan tetapi hingga saat ini Komisi VIII DPR-RI belum menemui titik terang akan membahasnya.
Masuk Salah Satu Program Legislasi Nasional DPR RI
Ida Fauziyah, Ketua Komisi VIII DPR RI beberapa waktu lalu pernah membahas tentang undang-undang ini, Ida mengatakan perumusan RUU KKG ini sangat penting karena di Indonesia masih terdapat ketimpangan dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan, sehingga RUU ini diperlukan untuk melindungi dan menjamin hak setiap orang dari perlakuan diskriminatif.
“Di samping itu sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender demi tercapainya kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkualitas,” kata Ida.
Hal tersebut menurut Ida sejalan dengan amanat UUD 1945 yang dalam salah satu pasalnya menjamin hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun. Dengan kata lain, perumusan RUU KKG ini dimaksudkan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam proses pembangunan, karena menurut Ida pembangunan merupakan tanggung jawab bersama, baik laki-laki maupun perempuan.
Jika kemudian ada kekhawatiran bahwa RUU KKG ini menjadi semacam legalisasi pernikahan sesama jenis, menurut Ida hal tersebut tidaklah benar, karena Kesetaraan dan Keadilan Gender bertujuan mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi,kontrol, dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan.
Ida juga menjawab kekhawatiran lain dari sekelompok orang yang menolak RUU KKG ini yang seolah menggerakkan semangat feminism barat, dimana perempuan dipaksa untuk memenuhi atau mengambil bagian ruang publik. Dengan demikian mengaburkan peran perempuan di wilayah domestik. Ida mengatakan hal tersebut tidak lah benar, karena RUU KKG ini hanya memberikan hak yang sama pada perempuan untuk ikut berpartisipasi di semua bidang kehidupan, dalam membangun Indonesia.
“RUU KKG ini tidak memaksa perempuan untuk meninggalkan tugas dan kewajibannya di wilayah domestik, misalnya menjadi ibu rumahtangga yang memasak di rumah. Tetapi RUU KKG ini sebagai payung hukum untuk menciptakan mind set dimana wanita juga memiliki hak yang sama untuk mengembangkan diri dan berkiprah di segala bidang. Jika kemudian ada wanita yang hanya ingin berkiprah di wilayah domestik saja ya silahkan, tetapi paling tidak negara sudah menjamin haknya mereka untuk bisa berpartisipasi membangun bangsa lewat bidang apapun yang mereka inginkan,”jelas Ida Fauziyah.
Menurut anggota Panja RUU KKG dari Fraksi Partai Hanura Soemintarsih Muntoro, RUU ini akan terus dilanjutkan, dan kemungkinan sudah mendapatkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah.
“Kita akan terus jalan. Karena RUU ini amanat dari Undang-undang Dasar,” kata Soemintarsih.
RUU ini dianggap cukup mendesak karena akan membicarakan anggaran berbasis gender dan mengejar ketertinggalan serta untuk menghadapi tantangan zaman. Menurut Soemintarsih, dalam RUU ini tidak diatur soal agama dan perkawinan tetapi memberdayakan fungsi perempuan
Karena itu, sebagian kelompok masyarakat yang menentang RUU ini dengan dalih agama dinilai hanya salah menafsirkan saja. Sebab, landasan dari RUU ini justru ideologi Pancasila. Namun kepada pihak-pihak yang menentang, DPR akan terus melakukan sosialisasi.
RUU KKG mendapatkan tentangan dari sebagian kelompok, antara lain Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). RUU ini dianggap produk sekuler Barat.
RUU ini juga dianggap akan membawa perempuan ke ranah publik dan meninggalkan ranah domestik hanya demi mengejar indeks pembangunan manusia. MIUMI pernah diundang ke Komisi VIII untuk dimintai pendapatnya, dan menyatakan menolak sambil membawa berkas 70 ribu lembar penolakan dari masyarakat.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...