Tokoh Suku Indian: Pemisahan Keluarga Dipraktikkan AS Sejak Lama
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM – Di tengah gejolak kemarahan atas keputusan pemerintahan Presiden Donald Trump memisahkan anak-anak dari orang tua mereka yang berusaha masuk ke Amerika secara gelap, sejumlah tokoh Indian mengatakan apa yang dilakukan Trump itu bukan hal baru.
Marek Trahant, redaktur Indian Country Today menulis dalam harian itu “ini bukan pertama kalinya pemerintah melakukan pemisahan paksa anggota keluarga.”
Presiden Trump, yang menjalankan kebijakan “zero tolerance” atau “tanpa toleransi” dalam pelaksanaan peraturan imigrasi, telah memisahkan sekitar 2.000 anak-anak pengungsi dari orang tua mereka sejak bulan April.
Banyak warga suku Indian di Amerika, melihat persamaan dengan sejarah yang mereka alami di bawah pemerintahan Amerika dulu.
Pengarang dan penutur cerita Gyasi Ross, anggota suku Indian Blackfoot Nation yang tinggal di kawasan reservasi Indian di negara bagian Washington, mentweet bahwa kebijakan Trump itu tidak mengherankan bagi orang-orang Indian.
“Kawan-kawan liberal kulit putih, jangan terus mengatakan bahwa memisahkan anak-anak dari orang tua mereka adalah suatu tindakan yang tidak Amerikani. Pernyataan itu tidak melihat sejarah, dan tidak peka atas nasib 100.000 lebih anak-anak suku Indian, yang dipisahkan dari orang tua mereka oleh pemerintah Amerika, untuk dimasukkan ke sekolah-sekolah berasrama dan untuk diadopsi oleh keluarga kulit putih.”
Pemisahan paksa itu, dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kemiskinan yang terdapat di kawasan-kawasan reservasi suku Indian, bisa mengakibatkan pelecehan hak anak-anak itu. Adopsi paksa itu berlangsung sampai tahun 1978, ketika dikeluarkan Undang-Undang Perawatan Anak Suku Indian.
Tim Giago, dari suku Oglala Lakota dan redaktur harian Native Sun News Today mengatakan, “Anak-anak warga asli Amerika dipisahkan dari orang tua mereka mulai akhir tahun 1800-an dan dikirim ke berbagai tempat di Amerika, dan dimasukkan ke dalam sekolah-sekolah berasrama. Kami masih merasakan dampak psikologis yang disebabkan oleh trauma itu.”
OJ Semans, anggota suku Rosebud Sioux dan direktur eksekutif kelompok hak pemilu di Negara Bagian Dakota mengatakan, “Dalam tahun 1970-an, antara 25 sampai 35 persen anak-anak suku Indian diambil paksa dari keluarga mereka. Barulah pada tahun 1978 Kongres mengeluarkan undang-undang untuk menghentikan penculikan-penculikan seperti itu.”
Semans mengatakan, praktik pemisahan anak-anak pengungsi dari keluarga mereka hanya akan menyebabkan luka psikologis yang mendalam dan sulit dihilangkan. (voaindonesia.com)
Editor : Sotyati
Satu Kritis, Sembilan Meninggal, 1.403 Mengungsi Akibat Erup...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 1.403 korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, N...