Toleransi Tiga Rumah Ibadah
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Toleransi terjalin baik di kawasan Kota Baru di Kota Yogyakarta. Terdapat tiga rumah ibadah besar di kawasan itu, dengan jarak masing-masing rumah ibadah itu kurang lebih hanya 100 meter. Tiga rumah ibadah itu adalah Gereja Katolik Santo Antonius, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan Masjid Syuhada.
Pengurus Yayasan Masjid Syuhada, Panji Kumoro, mengatakan kedua gereja tersebut sudah ada terlebih dahulu ketimbang Masjid Syuhada. Gereja St Antonius merupakan peninggalan Belanda yang dibangun pada 26 September 1926 dan Gereja HKBP juga peninggalan Belanda, dibangun 5 Mei 1923. Sedangkan Masjid Syuhada didirikan pada 20 September 1952.
Sebelum ada Masjid Syuhada, kata Panji, umat Islam kesulitan untuk salat Jumat. Lalu dengan jiwa toleransi yang tinggi, pengurus Gereja HKBP memfasilitasi umat Islam untuk salat di halaman gereja bahkan salat tarawih.
“Aspek toleransi diketengahkan dengan baik kemudian merambah sampai saat ini,” kata Panji ditemui oleh Radio Republik Indonesia, Senin (25/12/2017).
Toleransi yang terajut sejak sebelum Indonesia merdeka itu berlanjut hingga kini. Contoh toleransi yang ditunjukkan oleh pengurus gereja dengan pengurus masjid untuk saat ini adalah penggunaan lahan di sekitar masjid untuk parkiran kendaraan jemaat yang mengikuti Natal atau kebaktian. Selain itu, kerja bakti, ronda malam, juga melibatkan warga dan pengurus rumah ibadah. Pertemuan dan diskusi nonformal juga terajut dengan baik antara pengurus Gereja HKBP dan Masjid Syuhada.
“Mereka kirim surat ke kami. Mereka mohon izin apabila ada suara mengganggu karena akan menggunakan pengeras suara,” ujar Panji mengenai surat izin pengurus gereja.
Saat itu memang terlihat jemaat memarkir kendaraannya hingga di depan masjid. Pada saat azan Zuhur, gereja mengurangi volume pengeras suara yang melantunkan pujian-pujian, dan mengembalikan volume begitu azan selesai.
Panji menegaskan toleransi yang ada di Kota Baru adalah sosial kemasyarakatan, bukan menyangkut prosesi ibadah dan keyakinan pemeluk agama. Karena menurutnya toleransi sejati adalah kemampuan untuk menghargai perbedaan.
“Ketika mampu dibarengi keyakinan bahwa setiap agama punya keyakinan yang berbeda dan diyakini kebenarannya oleh masing-masing (pemeluk agama), kemudian kita melanggengkan toleransi, itulah hakikat toleransi. Filosofinya ada kemampuan kita untuk menenggangkan perbedaan,” ia menegaskan.
Sementara itu Pendeta Gereja HKBP Monris Sibarani mengatakan hubungan dengan pengurus Masjid Syuhada terajut dengan baik, namun dia berharap toleransi tidak hanya sebatas kegiatan nonformal seperti kerja bakti, perayaan HUT RI, juga ada dialog yang intensif untuk kepentingan umat dengan tujuan akhir misal proyek untuk rumah singgah, atau sekolah. (rri.co.id)
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...