Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 22:30 WIB | Kamis, 28 November 2013

Topeng Blantek Fajar Ibnu Sena

Pertunjukan Topeng Blantek. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Fajar Ibnu Sena adalah salah satu dari sedikit kelompok Topeng Blantek yang masih berusaha untuk tetap bertahan. Kesenian ini sudah semakin jarang dimainkan, dan nyaris terancam punah. Satu per satu kelompok yang dulu sempat menjamur menjadi berguguran.

Kesenian ini sangat populer di masa lalu dan berfungsi sebagai sarana komunikasi menyebarkan agama Islam. Di tahun 1970-an, Topeng Blantek juga dimanfaatkan untuk mensosialisasikan pelbagai program Pemerintah sehingga jumlah kelompok Topeng Blantek mencapai puluhan.

Kelompok ‘Fajar Ibnu Sena’ berdiri pada 5 Agustus 1983.

Kelompok ini berusaha membina, mengembangkan, dan melestarikan Topeng Blantek lewat pelbagai kegiatan pertunjukan dari kampung ke kampung dan dalam kondisi yang prihatin.

Sempat meraih gelar juara pertama pada Festival Topeng Blantek tahun 1994 dan menjadi peserta Proyek Percontohan Pertunjukan Keliling Topeng Blantek tahun 1995. Juga menerima Anugerah Seni Teater Tradisional Betawi.

Kelompok ini telah berpentas di pelbagai tempat dan memainkan puluhan lakon. Beberapa di antaranya yang dianggap monumental adalah Juragan Baud, Mandor Basir, Kalung, Perkawinan, Jampang – Mayangsari, Jampang – Sarba, Jampang Rabin, dan Garong.

Dalam pertunjukan di pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Minggu (24/11), ‘Fajar Ibnu Sena’ membawakan lakon berjudul ‘Sarba – Mayang Sari’

Lakon ini menceritakan tentang lelaki paruh baya bernama Sarba. Dia banyak menerima masukan dari anak buah untuk segera menikah. Soalnya untuk laki-laki seusianya semua sudah menikah, bahkan beranak cucu. Dengan susah payah akhirnya Sarba mau mempersunting seorang perempuan bernama Mayang Sari, anak Jurangan Baud. Perempuan ini kecantikannya tersohor hingga Sembilan kampung.

Tetapi meski beristri cantik, Sarba tidak bahagia. Pasalnya dalam 13 tahun pernikahannya belum juga dikaruniai anak. Keponakannya, Sarkim, lantas memberikan saran supaya Sarba berziarah ke makam Gunung Batu Sempuh. Juru Kunci atau Kuncen Batu Sempuh memberitahu bahwa permohonan meminta anak akan dapat terkabul bila Sarba sudi bersedekah bekakak kerbau. Sarba menyanggupi syarat itu.

Tidak lama kemudian Mayang Sari hamil dan melahirkan seorang anak. Namun, Sarba ingkar janji. Dia tidak memenuhi syarat yang diajukan Kuncen Batu Sempuh sehingga  Sarba pun terkena tulah. Dia akhirnya jatuh sakit dan mati.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home