Napak Tilas WS Rendra
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sastrawan WS Rendra lahir dan besar di tengah hegemoni sosial politik Orde Baru. Situasi ini membuat karya WS Rendra kritis terhadap kondisi sosial masyarakat. Dia pernah ditahan lima bulan dengan tuduhan menghasut masyarakat setelah tampil pembacaan sajak di depan umum di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1978.
Sastrawan yang meninggal 6 Agustus 2009 lalu merupakan sosok yang patut dikenang. Karya dinilai punya pengaruh dalam menentukan arah kebudayaan, mewarnai wajah kebudayaan, dan berdinamika dalam sastra Indonesia.
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk mengenang WS Rendra menggelar ‘Napak Tilas Sastrawan Indonesia: WS Rendra’ di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Senin (25/11).
Acara napak tilas itu diisi dengan diskusi sastra, pemutaran audio pembacaan puisi Rendra pada 1978 sebelum penangkapannya, orasi sastra, dan pementasan teater.
Diskusi sastra menghadirkan pembicara Dosen Politik dan Studi Internasional di Victorian College of the Arts dan Universitas Melbourne Max Lane, sastrawan Seno Gumira Adjidharma, dengan moderator Linda Christanty.
Remy Sylado mengisi orasi sastra. Sementara Amin Kamil dan pelukis Hanafi berkolaborasi dalam pertunjukan bertajuk ‘Maria Zaitun’ yang bersumber dari puisi WS Rendra ‘Nyanyian Angsa’.
Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2013-2015 Irawan Karseno menyebut karya-karya dan pemikiran WS Rendra telah menjadi bagian dari roh kebudayaan Indonesia.
“Oleh karena itu dengan membicarakan kembali karya-karya dan pemikirannya, kita semua mendapat nutrisi budaya, dan ini penting untuk tetap menjaga dan memperkaya kehidupan kita,” kata Irawan Karseno.
Sementara Ketua Komite Sastra DKJ 2013-2015, Fikar W Eda, mengatakan,”Melalui napak tilas ini, kita menghidupkan api Rendra dalam diri kita. Bahwa negeri ini pernah memiliki seorang tokoh besar bidang kebudayaan. Penyair yang dengan kritis menyoroti perangai kekuasaan dan penguasanya, serta member pemihakan yang nyata kepada kepentingan rakyat. Dia menjalankan tugas mulia itu dengan baik, dia rela dipenjara, dan tetap bersuara keras sampai akhir hayatnya.”
Dia melanjutka, ”Napak tilas ini merupakan ruang bagi kita memperbincangkan dan menafsir kembali mutiara pemikiran Rendra, dan dengan cara itulah, dia menjadi tetap hidup di tengah gebalau zaman.”
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...