Sohibul Hikayat Modern tentang Republik Dodol
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sohibul Hikayat merupakan jenis kesenian berbentuk sastra lisan atau tutur di kalangan masyarakat Betawi. Diadopsi dari istilah bahasa Arab, sohibul hikayat yang kurang lebih berarti ‘yang empunya cerita’. Kesenian ini memang sepenuhnya bersandar kepada juru hikayat, sebutan untuk tukang cerita atau pencerita. Juru hikayat tampil membawakan hikayat, kisah, berbentuk prosa dengan diselingi beberapa bait pantun di sana sini.
Kesenian ini di masa lalu populer dan digemari masyarakat Betawi. Terutama di daerah Jakarta Pusat seperti Salemba, Tanah Abang, Kebon Sirih, dan Kemayoran, di daerah tengah seperti Mampang Prapatan hingga Taman Sari. Tidak heran ketika jaman keemasannya itu muncul banyak tukang cerita atau pencerita yang disebut juru hikayat. Beberapa nama yang tersohor di antaranya Haji Ja’far, Haji Ma’ruf, kemudian Mohammad Zahid yang terkenal dengan sebutan Wak Jait.
Kesenian ini seiring perkembangan zaman perlahan meredup bahkan sempat punah sama sekali. Belakangan ada semacam upaya untuk kembali merevitalisasinya. Salah satunya Haji Fandi Baskara dan kawan-kawannya bersama Sanggar Bunga Cempeda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kelompok yang menyebut diri Sohibul Hikayat Moderen ‘Haji Fandi Baskara dan Rombongan’ atau terkadang disebut Sohibul Hikayat Moderen dari Jagakarsa ini muncul karena keprihatinan. Juru hikayat kelompok ini sedih melihat nasib kesenian leluhurnya itu nyaris punah.
Keprihatinan ini memunculkan keinginan untuk melakukan semacam pelestarian. Maka Haji Fandi Baskara mendirikan ‘Rombongan Sohibul Hikayat Betawi’. Nama ini terasa aneh karena kesenian Sohibul Hikayat tidak dibawakan secara bergerombol. Hal ini disadari Haji Fandi Baskara bahwa dirinya memang tidak sepenuhnya bermaksud menampilkan Sohibul Hikayat seperti bentuk aslinya di masa lampau. Dia ingin melakukan pembaharuan dan menyesuaikannya dengan zaman.
Dari sinilah lantas berkembang ide tentang bentuk baru Sohibul Hikayat yang berbeda dari yang lazim dikenal. Perbedaan itu antara lain dalam gaya bahasa dan penuturan, penyajian yang tidak hanya menampilkan juru hikayat tunggal, serta isi cerita yang diambil dari kejadian dan isu-isu aktual masa kini.
Dalam pertunjukan di pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Senin (25/11), Haji Fandi Baskara dan kawan-kawan membawakan hikayat berjudul ‘Republik Dodol’
Alkisah, dahulu kala di kepulauan Geplak, tepatnya di Negara Gemblongan, hidup seorang raja bergelar Satria Pesingit yang memiliki banyak istri. Dari istrinya yang ketujuh dia mempunyai seorang anak yang pintar, berani, dan jujur. Namanya Dewi Batarawati. Tetapi sayang, si anak dibuang secara halus dari istana kerajaan atas perintah para selir dan menteri hulu balang.
Suatu hari ketika usia Dewi Batarawati menjelang 40 tahun, si anak itu kembali ke negara Gemblongan dan mendapat dukungan dari rakyat untuk memimpin bangsa. Namun usia kepemimpinannya tidak berlangsung lama karena dia dikudeta lawan-lawannya secara halus. Sejak itu bermunculan tokoh-tokoh pemimpin yang ingin merebut tahta kepemimpinannya dengan cara memutarbalikkan fakta dan keadaan.
Ada satu kebiasaan yang digemari tokoh-tokoh pemimpin, yaitu mengumbar janji-janji muluk dengan dalih hendak mensejahterakan rakyat tetapi semuanya bualan kosong. Kepiawaian tokoh-tokoh pemimpin dalam membohongi rakyat lantas membuat rakyat merasa tokoh-tokoh pemimpin itu sedang mendodolin, istilah Betawi untuk menunjuk orang yang gemar berjanji palsu. Perilaku mendodolin bukan hanya menjangkiti tokoh-tokoh pemimpin tetapi kini nyaris semua lapisan masyarakat berperilaku seperti itu. Maka yang kemudian terjadi Negara Gemblongan dibah namanya menjadi Republik Dodol.
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...