Tradisi Mengundurkan Diri Pejabat di Era Jokowi Mendapat Apresiasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengunduran diri Dirjen Perhubungan Darat, Djoko Sasono, dengan alasan tidak mampu mengatasi kemacetan parah yang terjadi pada 24 dan 25 Desember, menjadi topik perbincangan publik yang hangat. Pengunduran diri itu dianggap merupakan tradisi baru di lingkungan pemerintah di era pemerintahan Jokowi.
Pengamat Manajemen, Herris Simandjuntak, mencatat ada 4 pejabat publik penting yang mengundurkan diri dari jabatannya sepanjang tahun 2015.
.
Pada 29 April, Dirjen Pemasyarakatan Handoyo Sudrajat resmi mengundurkan diri dengan alasan karena banyak program yang tak bisa dieksekusi karena anggaran masih dibintangi.
.
Berikutnya, Dirjen Pajak Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri pada 30 November dengan alasan tidak sanggup memenuhi target penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1.294 triliun.
.
Kemudian, Dirjen Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono mengundurkan diri karena merasa gagal mengatasi kemacetan parah di beberapa ruas, terutama di jalan tol, menjelang Natal.
.
"Sebenarnya ada satu pejabat penting yang juga mengundurkan diri dari jabatannya pada 16 Desember yakni Ketua DPR Setya Novanto. Tapi kasusnya sangat berbeda. SN mengajukan pengunduran diri setelah sidang MKD menyatakan dia melakukan pelanggaran etika. Bahkan, meski telah melanggar etika, SN diangkat menjadi Ketua Fraksi Golkar di DPR RI," kata Herris, penyandang gelar doktor dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Menurut dia, sikap para pejabat itu (kecuali SN) menandakan bahwa mereka adalah pejabat yang bermental baik dan bertanggung jawab penuh. Langkah pengunduran diri mereka (kecuali SN) merupakan contoh positif bagi para pejabat publik di Indonesia yang merasa gagal dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya.
Hal senada dikatakan oleh Jansen Sinamo, seorang pembicara publik yang dengan tema besar Etos Kerja, Menurut dia, mundurnya Dirjen Pehubungan Darat memperkuat tradisi mundur jabatan---sebelumnya Dirjen Pajak dan Dirjen Pemasyarakatan---karena merasa gagal dan bersalah menyaksikan kemacetan luar biasa sejak 23 Desember lalu.
Ia mengatakan inheren dalam sebuah jabatan sesungguhnya terkandung suatu proposisi sukses yang harus dibuktikan oleh sang pejabat. Artinya, ia harus mampu mendeliver suatu performance yang profesional.
Seorang pilot misalnya, harus mampu menerbangkan dan mendaratkan pesawatnya dengan baik dalam kondisi apapun yang wajar. Pilot yang gagal melakukan kewajaran profesional harus dicabut lisensi terbangnya dan dilarang menerbangkan pesawat.
"Ngotot bertahan pada jabatan pilot tersebut akan sangat berbahaya. Maka ia harus tahu diri untuk mundur atau otoritas di atasnya harus memaksanya mundur segera," kata dia, lewat akun facebooknya.
Jika ngotot sebagai pilot saja berbahaya, kata Jansen, jauh lebih berbahaya bagi seorang dirjen tetap ngotot berada di kokpit jabatannya.
"Maka kita berikan hormat untuk Dirjen Djoko Sasono yang sadar akan bahaya yang mungkin ditimbulkannya, lalu gentleman untuk mundur," tulis dia.
Sayangnya, kata dia, aspek bahaya ngotot jabatan ini yang tidak muncul dalam sidang-sidang MKD sebulan lalu atas kasus Setya Novanto.
"Pemunduran dan kemunduran sang Ketua DPR itu seharusnya terutama karena mempertimbangkan bahaya dan mudarat yang ditimbulkannya bila tetap ngotot di jabatan itu, tidak sekadar etis tak etis atau pantas tak pantas. Maka harus ditegaskan pula di sini: persoalan etika yang susila-moral itu sebenarnya setangkup simetris dengan aspek teknikal-profesional perkara itu," tulis Jansen.
Hari ini (28/12), Wakil Presiden, Jusuf Kalla, juga mengomentari pengunduran diri Djoko Sasono.
"Itu contoh yang baik. Kita harus hargai bahwa dia tanggung jawab," kata Kalla, di Jakarta, Senin (28/12), seperti dikutip Antara.
Walau memuji, dia memberi catatan, yaitu, "Tergantung pada permasalahannya."
Kemacetan parah yang terjadi di ruas jalan terutama tol pada masa liburan menjelang Natal 2015 disebut sebagai alasan pengunduran diri Sasono dari jabatannya.
"Kemacetankan bukan hanya karena dirjen itu, tapi juga karena libur hampir bersamaan. Juga karena infrastruktur baik maka orang banyak memanfaatkan," katanya.
Dari kenyataan macet parah di jalan tol itu, Kalla malah berkata, hal itu juga menunjukkan tanda kemajuan ekonomi karena semakin banyak orang yang punya mobil.
Padahal, kerugian yang harus ditanggung masyarakat atas kemacetan itu sulit dihitung, apakah kerugian terukur ataupun kerugian yang tidak bisa diukur.
"Jadi kemacetan ada positif dan negatif. Positifnya bahwa masyarakat mempunyai kemampuan yang cukup untuk beli mobil," kata dia. Ini jelas potensi pasar yang menjanjikan bagi industri otomotif dan turunannya, termasuk agen-agen besar pedagang mobil.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...