Tragedi 1965: Rezim Orde Baru dan Mengerikannya Label PKI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Center for Southeast Asian, Yosef Djakababa, mengatakan rezim Orde baru mengarahkan ingatan masyarakat pada peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober. Menurutnya, hal itu dilakukan dengan tujuan menjaga keberlangsungan rezim pimpinan Soeharto.
“Pada rezim Orde Baru, ada kesenyapan. Sejarah pasca-Tragedi 1965 pun disembunyikan, sehingga generasi saat itu tumbuh tanpa tahu ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM),” kata Yosef saat menjadi pembicara dalam Simposium Nasional 'Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan', di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari Selasa (19/4).
Sementara, dia melanjutkan, pasca-rezim Orde Baru, ingatan publik akan Tragedi 1965 diarahkan dengan mengantagoniskan rezim pimpinan Soeharto dan fokus pada HAM.
Dua sistem pengarahan ingatan yang berbeda itu, menurutnya, telah membuat hadirnya pengabaian narasi rezim Orde Baru dan memunculkan empat kelompok berbeda sikap terkait Tragedi 1965. Kelompok pertama, menerima narasi rezim Orde Baru. Kelompok kedua, menentang narasi Orde Baru. Kelompok ketiga, bingung akibat dua sistem pengarahan berbeda. Dan kelompok terakhir, mereka yang mengabaikan seluruhnya.
Oleh karena itu, menurutnya, untuk membangun ingatan kolektif atas pembelajaran Tragedi 1965, harus dilakukan secara menyeluruh. “Karena kepentingan kita sama, yaitu mengakui ada konflik kekerasan sesama manusia Indonesia,” kata Yosef.
Yosef pun berharap dengan cara demikian, peristiwa yang serupa dengan Tragedi 1965 tidak terulang di masa mendatang.
Label Stigma PKI
Di tempat yang sama, akademisi, Idhamsyah Eka Putra, memaparkan studinya mengenai efek stigma pasca-Tragedi 1965. Menurut dia, di Indonesia, label PKI (Partai Komunis Indonesia) merupakan tingkatan paling negatif dalam stigma sosial.
Dampak dari stigma itu, kata dia, seseorang bisa dikucilkan, dibenci, dan direndahkan. Dia mencontohkan, pada pemilu lalu, Presiden Joko Widodo difitnah sebagai orang PKI.
“Ada orang yang berusaha menggunakan label stigma PKI untuk menjatuhkan seseorang,” kata Idhamsyah.
Idhamsyah lantas menyinggung film karya Joshua Oppenheimer, 'The Look of Silence', yang menunjukkan adanya efek traumatis luar biasa pada anak korban yang distigmakan sebagai PKI.
Simposium Nasional 'Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' diprakarsai oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB), serta didukung oleh Kementerian koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam)
Rencananya, simposium nasional ini dilaksanakan hari Senin (18/4) hingga Selasa (19/4) sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban untuk merumuskan pokok pikiran menuju rekonsiliasi nasional.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...