Tragedi Bangladesh, Nyawa di Balik Harga Murah Pakaian
SAVAR, SATUHARAPAN.COM – Runtuhnya gedung pabrik garmen di Bangladesh pada Rabu (25/4) lalu dan telah menewaskan lebih dari 250 korban jiwa ternyata tidak menjadi alasan bagi perusahaan untuk menghentikan kegiatan kerja.
Pabrik itu akan tetap kembali beroperasi pada Senin (29/4) pagi besok dan ratusan ribu pekerja akan kembali beraktivitas di tempat yang sama, untuk memproduksi pakaian dengan merk High Street.
Untuk memenuhi permintaan Merk Barat akan pakaian ekspor murah, maka pemilik pabrik berlomba-lomba memberikan harga semurah mungkin. Maka, konsekuensinya adalah alokasi untuk kesehatan dan keselamatan terutama bagi pekerja, harus dipotong.
Namun hal ini tidak diakui oleh pemilik pabrik. Mereka meyakinkan, bahwa harga yang mereka bayar adalah cukup untuk membayar gaji pekerja dan membuat pabrik tetap beroperasi. Namun pendapatan yang terus menurun, membuat pemilik pabrik akan mengabaikan sejumlah hal utama, seperti mengganti mesin, perbaikan bangunan, dan lain-lain.
Sejumlah konsumen tentu akan menyadari bahwa mereka membeli pakaian dari pabrik yang menimbulkan tragedi memilukan itu. Tapi bagi konsumen, selama barang itu murah, mereka akan tetap membelinya. Konsumen tak akan peduli pada pekerja yang membuat pakaian. Globalisasi dan masa resesi menyebabkan industri pakaian murah menjadi salah satu industri menjanjikan. Orang-orang di negara Barat yang hidup digaris batas kemiskinan perlu membeli pakaian untuk anak-anak mereka.
Bangladesh, dimana ratusan ribu orang hidup di bawah garis batas kemiskinan, pekerjaan adalah pilihan satu-satunya. Dan bukanlah tanggung jawab konsumen untuk merasa bersalah akan asal usul pakaian yang mereka beli. Kalau begini, siapa yang harus dipersalahkan?
Sejumlah perusahaan barat, hanya mengandalkan audit sesaat untuk memantau kondisi pabrik mereka di luar negeri. Hal ini tidak akan memberikan gambaran akurat tentang kondisi pabrik yang sesungguhnya, seperti dikutip kantor berita CNN.
Clean Clothes Campaign bersama-sama dengan serikat pekerja lokal dan global, serta organisasi hak-hak buruh, telah mengembangkan sebuah program untuk memecahkan masalah ini. Gedung Bangladesh dan Perjanjian Fire Safety adalah sebuah proposal yang mencakup inspeksi independen bangunan, pelatihan hak-hak pekerja, keterbukaan masyarakat dan uji standar keselamatan.
Unsur penting dari hal ini adalah bahwa serikat pekerja dan para pekerja memimpin komite mengambil peran sentral dalam pemantauan dan pelaporan kembali pada perbaikan yang perlu dibuat, dengan cara umum.
Perjanjian ini transparan dan praktis karena didukung oleh semua pemangku kepentingan ketenagakerjaan yang utama di Bangladesh dan internasional. Sejauh ini, perusahaan pemilik Calvin Klein dan Tommy Hilfiger, dan perusahaan Jerman pengecer Tchibo telah mendaftar untuk program ini. Tapi rasanya masih diperlukan massa yang kritis agar ketentuan ini dapat dilaksanakan.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...