Transaksi Tidak Gunakan Rupiah Kena Sanksi Kurungan Setahun
MANADO, SATUHARAPAN.COM - Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara, Arbonas Hutabarat mengingatkan transaksi dagang di Indonesia yang tidak menggunakan rupiah bisa dikenakan sanksi.
"Saat ini banyak pedagang maupun pengusaha di Sulawesi Utara yang bertransaksi dengan wisatawan dari China tidak menggunakan rupiah," kata Arbonas di Manado, Jumat.
Dia mengatakan praktik tersebut bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku, dan mereka yang melanggar diancam dengan hukuman kurungan 1 tahun dan denda maksimal Rp200 juta.
Arbonas mengatakan berdasarkan UU no. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, UU no. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana diubah dengan UU No. 6 Tahun 2009 serta Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka seluruh transaksi harus menggunakan rupiah. Jika tidak, ada sanksi yang menanti.
Kewajiban menggunakan rupiah berlaku untuk transaksi tunai maupun non tunai. Untuk pelanggaran dengan transaksi tunai, sanksi pidana sesuai dengan UU Mata Uang adalah kurungan satu tahun dan denda maksimal Rp200 juta.
"Sedangkan pelanggaran transaksi non tunai, BI akan mengenakan sanksi administrarif, yakni teguran tertulis, denda serta larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran. Denda untuk pelanggaran transaski non tunai adalah 1 persen dari nilai transaksi dan atau maksimal Rp1 miliar,” kata Arbonas.
Dikatakannya, penggunaan rupiah merupakan bentuk kedaulatan negara. Untuk itu, semua transaksi ataupun pencantuman harga di wilayah NKRI harus menggunakan rupiah. Sudah ada contoh hilangnya pulau Sebatik milik Indonesia akhirnya lepas ke Malaysia karena salah satu penyebabnya adalah mata uang yang digunakan di pulau tersebut adalah ringgit dan bukan rupiah.
Untuk itu, menurut Arbonas BI terus melakukan sosiaslisasi terutama di daerah yang masih banyak melakukan transaksi tidak menggunakan rupiah. Termasuk di Sulawesi Utara yang menerima transaksi mata uang yuan yang dibawa turis China.
“Saat ini beberapa kota yang tadinya banyak menggunakan transaksi ataupun pencantuman harga dengan dolar seperti Batam, Medan, Bali, Surabaya dan Jakarta sudah tidak ada lagi. Masalah tersebut sudah beres di sana. Namun sekarang justru di Sulawesi Utara masih marak transaksi tidak menggunakan rupiah,” katanya seraya menambahkan, pencantuman harga di online saat ini juga sudah menggunakan rupiah.
Ia mengatakan, pada Maret 2018, transaksi valas domestik sebesar 1,52 miliar dolar AS, jauh di bawah rata-rata bulanan transaksi valas antar penduduk satu tahun sebelum implementasi kewajiban penggunaan Rupiah (Maret 2014–Feb 2015), yang mencapai 62 miliar dolar AS.
BI Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III Sebesar 5,05 Persen
Sementara itu Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2019 atau sepanjang Juli-September 2019 sebesar 5,05 persen dibandingkan periode sama 2018 (year on year/yoy) atau lebih lambat dibanding perkiraan sebelumnya yang sebesar 5,1 persen (yoy).
Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis (24/10), menjelaskan pada kuartal III dan IV 2019, pertumbuhan ekonomi domestik menemui banyak tantangan. Stimulus yang bisa mendongkrak konsumsi dan permintaan seperti yang terjadi pada kuartal I dan II, tidak terjadi lagi untuk mengakselerasi pergerakan ekonomi.
Stimulus yang dimaksud Perry tersebut adalah rangkaian kampanye dan Pemilu Presiden-Legislatif pada kuartal I dan II 2019 yang mendongkrak pertumbuhan Lembaga Non-Profit Pertumbuhan Rumah Tangga (LNPRT) sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi. Di kuartal I dan II, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07 persen (yoy) dan 5,05 persen (yoy).
Namun, menurut Perry, konsumsi domestik pada kuartal III masih relatif bagus sehingga mampu menahan melambatnya pertumbuhan ekonomi hingga ke bawah 5,0 persen.
"Konsumsi masih bagus khususnya konsumsi rumah tangga. Masalahnya di kuartal III dan IV tidak ada lagi pengeluaran dari pemilu. Dengan tidak adanya faktor LNPRT itu, maka konsusmi rumah tangga berasal dari pendapatan, dari golongan menengah," ujar dia.
Di kuartal IV 2019, Perry meyakini pertumbuhan ekonomi akan semakin terungkit. Hal itu disebabkan berakhirnya masa ketidakpastian politik sejalan dengan selesainya penentuan anggota Kabinet yang akan mendampingi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Dengan begitu, para investor dan pelaku usaha diharapkan bisa langsung "tancap gas" melanjutkan kegiatan ekonominya.
Maka dari itu, untuk keseluruhan tahun 2019, Bank Sentral memproyeksikan pertumbuhan ekonomi masih di rentang 5,0-5,4 persen (yoy). Namun akan berada di bagian bawah rentang tersebut, di sekitar 5,1 persen (yoy).
Selain itu, penurunan suku bunga acuan yang sebesar satu persen hingga menjadi lima persen saat ini, diharapkan dapat memacu permintaan masyarakat. Perry mengatakan stimulus pelonggaran suku bunga tersebut akan melengkapi pelonggaran kebijakan makroprudensial yang, diklaim dia, telah meningkatkan suplai likuiditas terhadap perekonomian.
"Kami masih melihat pertumbuhan kredit perbankan akan sebesar 10-12 persen (yoy)," ujar dia.
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang masih moderat, BI melihat defisit neraca transaksi berjalan masih berada di rentang 2,5-3 persen Produk Domestik Bruto dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang surplus. (Ant)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...