Tren pemakaian Batubara di Dunia Turun, Indonesia Justru Naik
PRANCIS, SATUHARAPAN.COM - Dalam kajian tahun ini, Asosiasi Energi Internasional (IEA) menyebutkan, bahwa Asia Tenggara bakal memakai batubara sebagai pembangkit tenaga listrik sebanyak tiga kali lipat dari jumlah penggunaan saat ini dalam 20 tahun mendatang.
Peningkatan pemakaian batubara secara berkelanjutan, bertolak belakang dengan bagian lain di dunia yang mengalami penurunan pemakaian batubara utamanya karena kekhawatiran terhadap lingkungan, menurut kajian asosiasi tersebut.
Pada 2014, permintaan batubara di Asia Tenggara mencapai 142 metrik ton ekuivalen batubara (Mtce). Lalu, berdasarkan perhitungan kajian IEA, jumlah tersebut akan mencapai 240 Mtce pada 2040 mendatang.
"Tren ini terjadi, karena keunggulan harga dan jumlah ketersediaan batubara dibandingkan gas di kawasan. Tiga konsumen energi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, dan Malaysia, telah menyatakan niat mereka untuk meluaskan penggunaan batubara," kata kajian IEA.
Sebanyak 40 persen pasokan listrik di kawasan Asia Tenggara berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara. Seperti disinggung dalam kajian IEA, hal ini tidak lepas dari fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia.
Dari total ekspor batubara di dunia, jumlah ekspor Indonesia pada 2014 mencapai 31 persen. Jumlah itu, sebagaimana diprediksi kajian IEA, akan tetap stabil pada 2040.
Selain gencar mengekspor batubara, kawasan Asia Tenggara ditengarai akan rajin mengimpor batubara. Padahal, permintaan batubara Tiongkok akan menurun dari 2.896 Mtce pada 2014 menjadi 2.521 pada 2040.
Sejumlah pakar memprediksi, permintaan batubara di Asia Tenggara akan berkembang dan laju penggunaannya menjadi yang tercepat di antara sumber-sumber energi lainnya.
"Negara-negara di Asia Tenggara ini adalah di antara kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di planet ini. Mereka tidak perlu batubara dan prospek pembangunan berkesinambungan mereka hanya bisa diperbaiki dengan terjun ke dalam energi terbarukan, efisiensi energi, dan penggunaan listrik pada sistem transportasi," kata Bill Hare, direktur utama Climate Analytics, lembaga yang menganalisa isu energi dalam konteks perubahan iklim.
Menurut Bill Hare, seharusnya tidak boleh ada pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara yang baru jika dunia ingin tetap membatasi peningkatan suhu pada 1,5 derajat Celsius.
"Langkah ini tidak hanya membantu memerangi perubahan iklim, tapi juga mengatasi beragam masalah yang disebabkan pembakaran batu bara, seperti kesehatan manusia, ekosistem, dan pertanian," kata Hare.
Idealnya memang seperti yang diungkapkan Bill Hare. Akan tetapi, sejumlah pejabat negara Asia Tenggara yang berpartisipasi dalam Pertemuan Iklim PBB di Marrakesh, Maroko, mengaku tidak bisa mengesampingkan batubara dari sumber energi karena komoditi itu penting untuk pertumbuhan ekonomi.
Perwakilan dari industri batubara juga menepis usulan agar batubara dicoret dari sumber energi.
"Laporan (IEA) ini menunjukkan bahwa batubara tetap menjadi bagian penting pasokan energi global. Bagi negara-negara yang menggunakan batubara, sudah menjadi kewajiban untuk memakainya dengan teknologi yang bersih dan batubara rendah emisi paling efisien," kata Benjamin Sporton, direktur utama Asosiasi Batubara Dunia.
Dalam pidato di KTT Perubahan Iklim atau COP ke-21 di Paris, November 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia hadir sebagai bagian dari solusi.
Menurutnya, Indonesia akan berupaya menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030.
Penurunan itu dilakukan dengan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke sektor produktif, meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional tahun 2025, dan mengolah sampah menjadi sumber energi.
Namun, organisasi Greepeace meragukan komitmen itu karena pemerintah menitikberatkan pada sektor energi. Padahal, kebakaran hutan dan lahan kini menjadi sumber emisi utama.
Oorganisasi lingkungan hidup, World Resources Institute, mengutip hasil penelitian Guido van der Werf dari Global Fire Emissions Database, yang menyatakan emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah mengalahkan rata-rata emisi karbon harian AS.
Menurut data tersebut, hanya dalam 26 hari saja emisi dari kebakaran hutan dan lahan mencapai 1.043 juta metrik ton. Jumlah itu belum mencakup sektor lain seperti energi atau transportasi. (bbc.com)
Editor : Eben E. Siadari
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...