Tujuh Belasan Yang Berbeda
SATUHARAPAN.COM - Tahun ini ada yang berbeda dari perayaan ulang tahun kemerdekaan Negeri ini. Kemeriahan dalam bentuk kumpul-kumpul ditiadakan. Berarti lenyaplah sudah lomba makan kerupuk, lomba kelereng-di-sendok, lomba sepak bola pakai daster (khusus bapak-bapak), lomba masa-masak, lomba menghias gapura, lomba panjat pinang, dan seterusnya. Lenyap juga kehebohan panggung tujuhbelasan yang biasanya bertaburan hadiah-hadiah dari sponsor demi mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya. Kemegahan upacara bendera di Istana Negara pun berubah drastis. Wah, padahal tahun ini adalah ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-75! Sebuah usia yang kerap dipandang lebih istimewa dari usia-usia lainnya.
Memang tidak ada yang menyangka kita akan merayakan tujuhbelasan dalam suasana yang mengharuskan kita menjaga jarak. Padahal, serunya tujuhbelasan justru ketika kita berkerumun dan bergerombol menonton keseruan acara sambil menyoraki para peserta lomba. Pula, kita tidak pernah mengira akan merayakan ulang tahun kemerdekaan Negeri tercinta sambil menghayati keprihatinan karena begitu banyak anak Bangsa yang kehilangan pekerjaan, belum lagi yang berdukacita karena kehilangan orang-orang terkasih. Padahal, namanya juga perayaan ulang tahun, biasanya kita dipenuhi kegembiraan dan tawa, serta suasana pesta yang meriah dan heboh. Sungguh, perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini tidak pernah terpikirkan akan menjadi demikian!
Namun, tentu saja, kita tidak akan membiarkan hari dan tanggal ini berlalu begitu saja, tanpa ada pengingat yang tak terlupakan. Peristiwa kemerdekaan adalah hal yang sangat berharga bagi segenap Bangsa. Jelas, kita tidak rela kehadiran virus COVID-19 membuat kita mengabaikan peristiwa se-berharga tujuh belasan. Jadi, sebisa kita memperingatinya, kita akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Sang Saka Merah-Putih tetap berkibar sepenuh tiang dengan gagah-berani. Setulus hati hening cipta kita lakukan dalam kenangan para pahlawan Bangsa sepanjang masa, baik mereka yang bertempur dengan bambu runcing, maupun juga mereka yang berperang dalam jubah APD (Alat Pelindung Diri). Tidak ketinggalan, dengan segenap suara kita kumandangkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Menghayati pertambahan usia dalam situasi seperti ini sesungguhnya mengajari kita beragam hal. Soal prioritas, misalnya. Jika biasanya kita menganggap tujuh belasan tanpa kemeriahan adalah sebuah cela, kini kita sadar bahwa kemeriahan tidak harus menjadi wujud penghargaan terhadap tujuhbelasan. Jika biasanya kita menjadikan padanya massa sebagai tanda suksesnya acara yang kita selenggarakan, kini kita tahu bahwa kesediaan masyarakat untuk tidak berkerumun dan bergerombol adalah bentuk kecintaan yang setulus hati terhadap Negeri.
Juga soal solidaritas. Sekalipun tengah menghayati aneka kesulitan, kebanyakan kita tidak enggan mengulurkan bantuan pada saudara sebangsa. Justru kesulitan yang kita alami memampukan kita berbelarasa terhadap kesulitan sesama. Kesadaran bahwa kita adalah saudara se-Bangsa dan se-Tanah-Air sangat terasa pada ulang tahun Negeri kali ini.
Menyimak semua ini, sekalipun ulang tahun ini diwarnai nuansa prihatin, bukan berarti tanpa makna. Sekalipun tujuh belasan kali ini berbeda, maknanya justru luar biasa. Itu sebabnya, kita tetap bisa mengatakan dengan tegas, “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” (Mazmur 136:1) Dirgahayu Indonesia! Soli Deo Gloria!
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...