Tujuh Jangan dalam Pilkada
SATUHARAPAN.COM - (Pembuka: Sebentar lagi Pilkada serentak. Masyarakat di berbagai daerah di seluruh negeri akan memilih pemimpinnya. Terima kasih untuk reformasi. Di zaman old pemimpin daerah itu di-drop dari “atas”. Pemimpin bagus pemimpin buruk, rakyat hanya bisa terima. Jangan coba-coba protes, bisa dianggap subversi. Di zaman now, masyarakat bisa turut memilih pemimpinnya. Maka, mari gunakan hak pilih kita dengan cerdas).
1. Jangan pilih calon karena agamanya, tetapi pilih karena moralitas dan integritasya; sebab baik buruknya seseorang (pemimpin) tidak ditentukan oleh agamanya, tetapi oleh moralitas dan integritasnya.
2. Jangan pilih calon yang didukung oleh kelompok intoleran atau orang-orang yang punya reputasi buruk. Pendukung mencerminkan orang yang didukung. Seperti kata pepatah, "Orang baik bertemannya sama orang baik!" Jadi kalau cecurut temannya, ya sama cecurut juga.
3. Jangan pilih calon yang ketika berkampanye memakai cara-cara kotor; fitnah, rasis, tebar hoax dan kebencian, dusta, menghalalkan segala cara. Kalau saat berkampanye saja sudah belepotan dengan kebusukan, apalagi kalau sudah menjabat.
4. Jangan pilih calon yang mudah memberi janji; apalagi janji sorga alias tidak realistis alias hanya diawang-awang. Misalnya, janji bisa mengatasi macet Jakarta dalam dua minggu atau memboyong Sir Alex Ferguson menjadi manager sepakbola di daerahnya. Orang yang mudah janji, biasanya mudah pula melanggarnya.
5. Jangan pilih calon yang suka tebar pesona; saat pilkada saja, misalnya, mau makan di warung kaki lima, mau beramah-ramah dengan para pedagang di pasar, dan mau mungutin sampah di jalan (dan sambil bawa-bawa wartawan). Kalau diri sendiri saja sampai dipalsukan, apalagi jabatan.
6. Jangan pilih calon yang punya track record buruk di masa lalu; terutama ketika mengemban sebuah jabatan tertentu, atau dalam memperlakukan orang-orang terdekatnya. Track record tidak akan bohong.
7. Jangan golput. Perlukan waktu untuk menggunakan hak pilih. Karena tidak memilih sama artinya dengan menyerahkan masa depan kita kepada orang lain. Mending kalau yang terpilih itu orang baik-baik, lha kalau serigala?
(Penutup: Ini terjadi di negeri dongeng: tahu-tahu sebangsa serigala yang terpilih menjadi pemimpin. Kenapa bisa terjadi begitu? Ternyata karena bangsa manusia cuek atau asal saja dalam menggunakan hak pilihnya. Bila sudah demikian menyesal pun tiada guna. Jadi kalau kita peduli dengan masa depan daerah kita, peduli dengan anak cucu kita, gunakan hak pilih. Dan gunakan secara cerdas. Jangan berpikir, ah ‘kan cuma satu suara. Jangan lupa, satu juta pun bila kurang satu, tetap saja kurang).
Editor: Tjhia Yen Nie
Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com )
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...