Turki Sahkan UU Pembatasan Internet
ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM - Parlemen Turki telah mengesahkan legislasi yang akan memperketat kontrol pemerintah atas Internet.
Berdasarkan pemungutan suara pada Rabu (5/2) malam itu, otoritas telekomunikasi Turki diperbolehkan memblokir situs Internet yang dianggap melanggar privasi tanpa didului putusan pengadilan.
Legislasi itu juga akan memaksa para penyedia layanan Internet untuk menyimpan catatan mengenai aktivitas pengguna web selama dua tahun dan menyerahkannya kepada pihak berwenang apabila diminta, tanpa memberitahu para pengguna.
Komisi Perlindungan Wartawan yang berbasis di New York menyatakan langkah-langkah tersebut dapat memperburuk kebebasan pers yang menyedihkan di Turki. Pemerintah telah menyatakan akan melindungi privasi dan hal itu tidak sama dengan sensor.
Langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari sebuah paket legislasi, yang selebihnya diperkirakan akan disahkan parlemen Kamis (6/2) dan ditandatangani menjadi undang-undang oleh presiden.
PM Kecam Media Sosial
Berita sebelumnya yang dikutip VOA menyebutkan, penggal pertengahan tahun lalu Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengecam media sosial dan berjanji merazia sarana tersebut dan penggunanya. Saat itu sudah ada yang ditahan dan aturan baru segera disusun untuk membatasi penggunaan media sosial. Walau demikian, pengamat mengklaim penggunaan media sosial meningkat.
Erdogan menggambarkan media sosial sebagai ancaman besar terhadap masyarakat untuk menyebarkan kebohongan dan setengah kebenaran mengenai pemerintahannya. Menurut pemerintahan Erdogan, media sosial merupakan elemen kunci dalam plot internasional melawan dirinya. Pemerintah Turki telah menjaring lima juta pesan di Twitter dan mempertimbangkan aturan Internet baru, selain memperluas kekuasaan lembaga mata-mata negara.
Emma Sinclair Webb, peneliti mengenai isu Turki dari kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York Human Rights Watch, mengatakan memang ada dasar hukum untuk mengontrol pesan-pesan di Twitter. Namun ia khawatir kekuasaan seperti itu dapat disalahgunakan.
"Pembatasan hak berbicara, pernyataan di Twitter dan menulis hanya dapat dilakukan jika hal-hal itu berisi ancaman langsung atau segera. Jadi ambang batasnya harus tinggi untuk pembatasan apa pun. Sayangnya, yang kita lihat di Turki selama bertahun-tahun, perbedaan pendapat bisa menjadi sesuatu yang dapat diadili di pengadilan, padahal seharusnya tidak boleh," ujar Webb. (VOA)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...